Stunting: Bagaimana Geografi Kesehatan Berperan dalam Menurunkan Prevalensi?
oleh: Yudianto
Ringkasan
Artikel ini mengeksplorasi peran penting pendekatan geografi kesehatan dalam upaya menurunkan prevalensi stunting, sebuah masalah gizi kronis yang mengancam perkembangan anak balita. Stunting memiliki pola penyebaran yang tidak merata di berbagai wilayah, menciptakan tantangan tersendiri bagi program pemerintah yang telah diluncurkan untuk mengatasinya. Penurunan stunting memerlukan pendekatan konvergen yang melibatkan berbagai sektor, termasuk kesehatan, pertanian, dan pendidikan. Dalam konteks ini, geografi kesehatan memberikan alat dan perspektif baru untuk memahami distribusi spasial stunting dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti fenomena keruangan dan analisis spasial.
Dengan memetakan kasus stunting, kita dapat mengidentifikasi daerah-daerah yang paling terdampak dan merencanakan intervensi yang lebih tepat. Contoh praktik baik dari Kabupaten Sumba Timur dan Kabupaten Sikka di NTT menunjukkan efektivitas pendekatan ini. Selain itu, keberhasilan Peru, sebuah negara di Amerika Selatan, dalam mengurangi stunting juga menjadi catatan penting, di mana strategi terintegrasi yang melibatkan berbagai sektor dan pemetaan berbasis data, termasuk analisis spasial, telah terbukti efektif. Meskipun pendekatan geografi kesehatan memiliki potensi besar, tantangan seperti ketersediaan data dan kapasitas sumber daya manusia masih perlu diatasi. Secara keseluruhan, pendekatan ini menawarkan cara komprehensif untuk memahami dan mengatasi stunting, sehingga memungkinkan perancangan intervensi yang lebih efektif dan tertarget.
Pendahuluan
Stunting, atau kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi kronis, merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting masih berada pada angka 21,6%, yang menunjukkan bahwa banyak anak Indonesia tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal (Kementerian Kesehatan RI, 2022). Data ini juga mencerminkan adanya disparitas yang mencolok antar wilayah; di beberapa daerah terpencil, prevalensi stunting dapat mencapai hingga 40%, sementara wilayah perkotaan menunjukkan angka yang lebih baik. Angka-angka ini menjadi alarm bagi kita, mengingat dampak jangka panjang stunting tidak hanya berpengaruh pada kesehatan individu, tetapi juga berkontribusi pada masalah sosial dan ekonomi yang lebih luas, seperti penurunan produktivitas dan peningkatan biaya kesehatan.
Contoh konkret dapat dilihat dari seorang anak di daerah pedesaan yang terpaksa meninggalkan sekolah karena masalah kesehatan akibat stunting. Hal ini tidak hanya menghambat perkembangan pribadi anak tersebut, tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan, karena mengurangi potensi generasi mendatang (Duncan et al., 2018).
Dengan target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk menurunkan prevalensi stunting menjadi 14% pada tahun 2024, pendekatan multisektoral menjadi krusial. Namun, tantangan dalam mencapai target tersebut sangat beragam, termasuk faktor spasial, distribusi sumber daya, dan koordinasi lintas sektor. Mengapa prevalensi stunting di beberapa daerah terpencil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perkotaan? Pertanyaan ini mendorong kita untuk menggali lebih dalam faktor-faktor yang mendasari masalah ini.
Geografi kesehatan menawarkan kerangka kerja yang komprehensif untuk memahami distribusi spasial stunting dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan, sosial, dan ekonomi yang berkontribusi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa akses ke air bersih, sanitasi yang buruk, dan keterbatasan layanan kesehatan di daerah terpencil secara signifikan meningkatkan risiko stunting (Suharso et al., 2021). WHO (2020) menegaskan bahwa "stunting occurs as a result of long-term nutritional deficiencies and poor health conditions, leading to impaired growth and development in children."
Dengan analisis geospasial dan hubungan ekologis, kita dapat memahami lebih baik penyebaran stunting di berbagai wilayah Indonesia dan merancang intervensi yang lebih tepat sasaran. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk memanfaatkan teknologi geospasial guna mengidentifikasi daerah-daerah dengan prevalensi stunting tinggi dan merumuskan kebijakan berbasis bukti. Dengan demikian, intervensi yang dirancang menjadi lebih efektif dan fokus pada wilayah dengan kebutuhan paling mendesak. Pemahaman mengenai faktor geografis dan sosial yang berkontribusi terhadap stunting sangat penting untuk mempercepat pencapaian target nasional dalam mengurangi prevalensi stunting di Indonesia.
Selain itu, upaya penurunan stunting berkontribusi pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan ke-2 tentang mengakhiri kelaparan dan mencapai ketahanan pangan (United Nations, 2015). Dengan memanfaatkan teknologi geospasial, pemerintah dan pemangku kepentingan dapat lebih mudah merumuskan kebijakan yang tepat sasaran.
Tujuan artikel ini adalah untuk menunjukkan bagaimana geografi kesehatan dapat berkontribusi dalam upaya penurunan stunting, serta pentingnya pemahaman mengenai faktor-faktor yang berkontribusi terhadap masalah ini untuk mempercepat pencapaian target nasional.
Program Percepatan Penurunan Stunting
Stunting merupakan masalah kesehatan serius di Indonesia, di mana prevalensi anak balita dengan kondisi ini masih cukup tinggi. Stunting tidak hanya berdampak pada pertumbuhan fisik anak, tetapi juga pada perkembangan kognitif, yang dapat mempengaruhi kemampuan belajar dan produktivitas di masa depan. Menyadari dampak yang luas dari stunting terhadap pembangunan sumber daya manusia, Pemerintah Indonesia telah menempatkan penurunan stunting sebagai salah satu prioritas nasional. Ini sejalan dengan upaya global yang dicanangkan oleh World Health Organization (WHO), yang menargetkan penurunan prevalensi stunting hingga 40% pada 2025 (WHO, 2020).
Untuk memastikan implementasi kebijakan yang terkoordinasi dan komprehensif, pemerintah membentuk Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) yang dipimpin oleh Wakil Presiden. Sebagai Ketua TP2S, Wakil Presiden memiliki peran sentral dalam memberikan arahan, rekomendasi, dan pertimbangan kebijakan dalam setiap tahapan implementasi. Langkah ini menunjukkan komitmen tinggi pemerintah terhadap upaya penurunan stunting. Menurut Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, Wakil Presiden juga bertindak sebagai pengarah kebijakan utama untuk mengintegrasikan berbagai program antar sektor di tingkat pusat dan daerah (Kementerian Sekretariat Negara, 2021).
Sejak pembentukan TP2S, beberapa langkah positif telah diambil, seperti peningkatan akses terhadap layanan kesehatan dan program gizi yang lebih baik. Program seperti pemberian makanan tambahan dan pelatihan untuk kader kesehatan telah menunjukkan keberhasilan dalam beberapa daerah, di mana prevalensi stunting mulai menunjukkan penurunan. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam hal koordinasi antar sektor dan alokasi sumber daya yang tidak merata. Di beberapa wilayah, akses terhadap layanan kesehatan dan sanitasi yang buruk masih menjadi kendala utama. Selain itu, kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya gizi dan kesehatan anak juga menjadi tantangan yang perlu diatasi.
Pendekatan Konvergen dalam Penurunan Stunting
Implementasi program percepatan penurunan stunting di Indonesia mengadopsi pendekatan konvergen, yang melibatkan berbagai kementerian, lembaga, serta pemerintah daerah. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan integrasi menyeluruh dari semua program yang terkait dengan penurunan stunting, mulai dari kebijakan hingga pelaksanaan di lapangan. Dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, pemerintah berharap setiap komponen dalam penanganan stunting dapat terkoordinasi dengan baik dan mencapai hasil yang lebih optimal. Kolaborasi ini menjadi penting untuk mengatasi masalah stunting yang bersifat multidimensional, mencakup aspek gizi, kesehatan, pendidikan, hingga lingkungan (Kementerian Kesehatan, 2022).
Pendekatan konvergen dalam konteks penurunan stunting merujuk pada upaya terintegrasi yang menggabungkan berbagai program dan kebijakan dari berbagai sektor untuk menangani faktor-faktor yang menyebabkan stunting secara holistik. Ini mencakup koordinasi antara sektor kesehatan, pendidikan, dan sosial, serta kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Menurut UNICEF (2021), pendekatan ini memungkinkan adanya sinergi yang lebih baik dalam penggunaan sumber daya dan memperkuat intervensi yang saling mendukung. Dengan demikian, pendekatan konvergen berfokus pada penggabungan berbagai intervensi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam upaya penanganan stunting.
Dalam kerangka pendekatan konvergen ini, tiga pilar utama telah ditetapkan sebagai fokus intervensi:
- Peningkatan Asupan Gizi Ibu Hamil dan Balita. Pilar pertama berfokus pada peningkatan asupan gizi bagi ibu hamil dan balita. Kementerian Kesehatan memainkan peran sentral dalam menyediakan program suplementasi gizi dan meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan ibu hamil. Program ini melibatkan pendistribusian makanan tambahan bergizi bagi ibu hamil dan balita melalui Posyandu, serta edukasi mengenai pentingnya gizi seimbang selama kehamilan dan masa pertumbuhan anak. Menurut Kementerian Kesehatan (2022), “program gizi yang terintegrasi membantu memastikan bahwa ibu hamil dan balita mendapatkan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.”
- Perbaikan Akses Layanan Kesehatan. Pilar kedua adalah memperbaiki akses layanan kesehatan, yang meliputi peningkatan kualitas dan cakupan layanan kesehatan ibu dan anak, serta layanan kesehatan dasar di daerah-daerah dengan prevalensi stunting tinggi. Untuk mendukung pilar ini, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan dalam meningkatkan kualitas layanan di Puskesmas, termasuk dalam hal pengawasan tumbuh kembang anak dan intervensi gizi spesifik. Hal ini sejalan dengan penelitian UNICEF (2021), yang menunjukkan bahwa peningkatan akses layanan kesehatan secara signifikan dapat mengurangi angka stunting.
- Peningkatan Akses terhadap Air Bersih dan Sanitasi. Pilar ketiga adalah peningkatan akses terhadap air bersih dan sanitasi. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berperan penting dalam memperluas cakupan akses air bersih dan sanitasi yang layak di seluruh pelosok negeri, terutama di wilayah dengan tingkat stunting yang tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa akses terhadap air bersih dan sanitasi yang baik berhubungan erat dengan penurunan prevalensi stunting. Menurut Pradipta (2021), “sanitasi yang buruk dapat memicu diare kronis yang berkontribusi terhadap stunting.”
Kolaborasi Multisektoral
Penanganan stunting melibatkan kolaborasi multisektoral dan ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengatasi masalah ini melalui integrasi lintas kementerian dan lembaga. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki peran penting dalam meningkatkan literasi gizi di kalangan keluarga, terutama anak-anak sekolah. Melalui program pendidikan gizi, diharapkan keluarga dapat lebih memahami pentingnya pola makan seimbang serta peran gizi dalam pencegahan stunting. Program ini mengajarkan perilaku makan sehat sejak dini, yang berpotensi membantu mengurangi angka stunting dalam jangka panjang. Kementerian Sosial juga berkontribusi dengan memberikan bantuan sosial yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat miskin, sehingga mereka dapat mengakses makanan bergizi. Selain itu, Kementerian Pertanian berfokus pada ketahanan pangan melalui peningkatan produksi pangan lokal. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antar sektor untuk memastikan bahwa setiap aspek yang mempengaruhi kesehatan anak terakomodasi dalam kebijakan nasional.
Sebagai contoh, di Kabupaten Lombok Barat, pendekatan konvergensi diadopsi dalam program "Pos Gizi," di mana Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan dinas-dinas terkait, PUPR, serta pemerintah desa. Pendekatan ini berhasil menurunkan prevalensi stunting dari 30% menjadi 22% pada tahun 2021 (Kemenkes, 2022). Selain itu, program "Rembug Stunting" di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah contoh lain dari praktik baik dalam penanganan stunting. Program ini melibatkan pendekatan partisipatif dan kolaboratif antara masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan lembaga internasional. Dengan menggunakan data spasial untuk memetakan desa-desa yang paling terdampak, program ini berhasil merancang intervensi yang melibatkan edukasi gizi, pemberian makanan tambahan, serta perbaikan sanitasi. Hasilnya, terjadi penurunan signifikan dalam prevalensi stunting di beberapa desa target (UNICEF, 2021).
Tantangan dan Prospek
Meskipun kebijakan nasional penurunan stunting telah menunjukkan arah yang jelas melalui pendekatan konvergen, tantangan geografis, sosial-ekonomi, serta kesenjangan layanan dasar di wilayah terpencil masih menjadi hambatan utama. Salah satu tantangan terbesar adalah kesenjangan antara daerah perkotaan dan perdesaan, terutama di wilayah timur Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua. Laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes, 2022) menunjukkan bahwa daerah-daerah terpencil di wilayah timur cenderung memiliki prevalensi stunting yang lebih tinggi, yang disebabkan oleh akses terbatas terhadap layanan dasar, termasuk air bersih, sanitasi yang layak, dan layanan kesehatan berkualitas.
Menurut Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di NTT mencapai 37,8%, jauh di atas rata-rata nasional yang berada di angka 24,4% (Kemenkes, 2022). Di Papua, tantangan geografis dan terbatasnya infrastruktur kesehatan juga berkontribusi pada tingginya angka stunting. Situasi ini mencerminkan pentingnya intervensi yang disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk peningkatan infrastruktur dasar dan penyediaan tenaga kesehatan yang lebih merata.
Faktor sosial-ekonomi juga mempengaruhi kesenjangan antar daerah. Daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi cenderung memiliki angka stunting yang lebih besar, karena keluarga miskin seringkali mengalami kesulitan dalam mengakses makanan bergizi dan layanan kesehatan. Oleh karena itu, pendekatan intervensi yang berbasis lokasi (place-based intervention) menjadi sangat penting dalam mengatasi disparitas ini.
Sebagaimana dikemukakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas, 2022), “strategi penanganan stunting harus mempertimbangkan konteks lokal agar lebih efektif.” Dengan komitmen yang kuat dari semua pihak dan pelaksanaan kebijakan yang efektif, Indonesia memiliki potensi besar untuk menurunkan prevalensi stunting secara signifikan. Kesuksesan program ini tidak hanya akan berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, tetapi juga pada pencapaian target pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) yang diusung secara global.
Pendekatan Geografi Kesehatan
Geografi kesehatan adalah disiplin ilmu yang mempelajari hubungan antara faktor-faktor lingkungan, sosial-ekonomi, dan kesehatan dalam konteks spasial (Gatrell & Lloyd, 2005). Pendekatan ini memungkinkan analisis terhadap bagaimana lokasi geografis mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat, termasuk prevalensi stunting. Dengan menggunakan metode geografi kesehatan, termasuk model spasial, kita dapat mengidentifikasi daerah-daerah yang paling rentan terhadap stunting serta memetakan distribusi determinan sosial dan lingkungan yang berperan dalam fenomena ini (Kearney, 2016).
Sebagai contoh, wilayah-wilayah dengan kondisi lingkungan yang buruk—seperti sanitasi yang tidak memadai dan akses terbatas terhadap air bersih—sering kali menunjukkan angka stunting yang lebih tinggi. Menurut UNICEF (2019), "Kondisi sanitasi yang buruk dan akses yang tidak memadai terhadap air bersih secara langsung berkontribusi terhadap tingginya angka stunting di banyak negara berkembang." Hal ini menunjukkan bahwa faktor-faktor geografis, seperti iklim dan topografi, dapat berkontribusi terhadap masalah kesehatan. Misalnya, daerah dengan curah hujan tinggi mungkin menghadapi masalah sanitasi yang lebih serius, yang berdampak pada kesehatan anak.
Salah satu konsep kunci dalam geografi kesehatan adalah teori determinan sosial dan lingkungan. Teori ini menekankan bahwa faktor-faktor seperti kemiskinan, pendidikan, dan akses ke layanan kesehatan sangat berpengaruh terhadap kesehatan anak. Penelitian dari Bank Dunia (2018) menunjukkan bahwa "anak-anak dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah memiliki risiko lebih besar mengalami stunting." Fenomena ini terlihat jelas di daerah perdesaan dan wilayah-wilayah dengan ketimpangan ekonomi yang tinggi, di mana akses terhadap sumber daya dan layanan dasar sering kali terbatas.
Selain itu, faktor-faktor lingkungan, seperti kualitas air dan iklim, juga memiliki dampak signifikan terhadap prevalensi stunting. Misalnya, wilayah dengan kualitas air yang buruk dapat menyebabkan penyakit yang mengganggu penyerapan nutrisi, sehingga meningkatkan risiko stunting (Dewey & Begum, 2011). Topografi juga dapat mempengaruhi aksesibilitas layanan kesehatan, yang merupakan faktor penting dalam pencegahan stunting.
Model spasial adalah alat analisis yang digunakan untuk memahami pola dan distribusi fenomena di ruang geografis. Dalam konteks stunting, model ini membantu mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi stunting di berbagai daerah, serta hubungan antara kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi. Model spasial memungkinkan peneliti untuk menganalisis data kesehatan dalam konteks geografis. Ini melibatkan pengumpulan data mengenai prevalensi stunting dan determinan terkait, seperti akses terhadap air bersih, sanitasi, dan pendidikan. Dengan data ini, peneliti dapat memetakan distribusi stunting di berbagai wilayah, mengidentifikasi hotspot, dan memahami variabilitas yang ada (Jacquez & Greiling, 2015).
Dengan menggunakan model spasial, peneliti dapat mengidentifikasi pola-pola geografis yang mungkin tidak terlihat dalam analisis statistik biasa. Misalnya, daerah-daerah tertentu mungkin memiliki angka stunting yang lebih tinggi akibat faktor lingkungan atau sosial yang spesifik. Identifikasi pola ini penting untuk merancang intervensi yang lebih efektif (Anselin, 1995). Statistika spasial digunakan untuk mendeskripsikan dan menganalisis data kesehatan secara spasial. Dengan menerapkan teknik seperti analisis kluster, peneliti dapat menentukan apakah ada konsentrasi stunting di daerah tertentu dan bagaimana faktor-faktor sosial-ekonomi mempengaruhi distribusinya.
Model regresi spasial digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara prevalensi stunting dan berbagai variabel determinan. Misalnya, model ini dapat mengukur bagaimana pendidikan orang tua, akses terhadap layanan kesehatan, dan kondisi sanitasi berkontribusi terhadap angka stunting. Dengan pendekatan ini, peneliti dapat memisahkan efek variabel yang berinteraksi dalam konteks spasial (Elhorst, 2010).
Untuk menganalisis data ini, berbagai metode analisis spasial dapat digunakan, seperti Sistem Informasi Geografis (GIS), statistik spasial, dan remote sensing. Metode ini memungkinkan pemangku kepentingan untuk memvisualisasikan dan menganalisis hubungan antara faktor-faktor geografis dan kesehatan secara lebih efektif. Sebagai contoh, GIS dapat digunakan untuk memetakan wilayah dengan prevalensi stunting tinggi dan mengidentifikasi pola yang mungkin tidak terlihat melalui analisis tradisional (Fischer et al., 2019).
Dengan pendekatan geografi kesehatan, kita dapat mengembangkan intervensi yang lebih tepat sasaran dan berbasis bukti untuk mengatasi stunting. Melalui pemahaman yang lebih baik mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan anak, upaya penanggulangan stunting dapat menjadi lebih efektif dan terintegrasi.
Fenomena Keruangan dan Variasi Spasial Stunting
Fenomena keruangan atau spatial pattern stunting di Indonesia menunjukkan ketidakmerataan yang jelas antara wilayah barat dan timur. Prevalensi stunting lebih tinggi di wilayah timur, terutama di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua, dibandingkan dengan wilayah barat seperti Jawa dan Sumatra. Ketidaksetaraan ini mencerminkan perbedaan dalam distribusi sumber daya, termasuk akses terhadap layanan kesehatan, sanitasi, air bersih, dan ketersediaan pangan bergizi. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan (2022), wilayah-wilayah yang sulit dijangkau dan memiliki infrastruktur terbatas, seperti daerah perdesaan terpencil di Papua dan NTT, memiliki prevalensi stunting yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Sebagai contoh, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, prevalensi stunting mencapai lebih dari 40%, jauh di atas rata-rata nasional yang sekitar 24,4% (BPS, 2022). Penyebab utama fenomena ini mencakup kondisi geografis yang terisolasi, kurangnya akses terhadap layanan kesehatan, dan lingkungan yang buruk. Daerah ini memiliki infrastruktur jalan yang minim, yang mengakibatkan distribusi makanan bergizi dan layanan kesehatan menjadi tidak merata. Selain itu, ketidakstabilan iklim dan kekeringan berkepanjangan turut mempengaruhi ketersediaan pangan dan kesehatan anak-anak.
Fenomena keruangan stunting di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi tercatat di wilayah-wilayah bagian timur, seperti NTT dan Papua. Wilayah-wilayah ini umumnya memiliki kondisi geografis yang terisolasi, infrastruktur yang terbatas, dan akses terhadap layanan kesehatan yang kurang memadai. Seperti dinyatakan dalam laporan Kemenkes (2022), "Daerah-daerah terpencil dengan akses terbatas terhadap air bersih dan sanitasi cenderung memiliki prevalensi stunting yang jauh lebih tinggi."
Sebuah studi oleh Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO, 2019) menggarisbawahi bahwa "the geography of undernutrition is closely tied to environmental and socio-economic factors, with rural and remote areas disproportionately affected." Dalam konteks ini, faktor geografis dan lingkungan seperti jarak ke pusat layanan kesehatan, infrastruktur yang kurang memadai, serta ketersediaan pangan bergizi berperan penting dalam variasi spasial ini.
Kondisi lingkungan yang buruk, termasuk sanitasi yang tidak memadai dan akses air bersih yang terbatas, semakin memperburuk situasi dengan meningkatkan risiko infeksi pada anak-anak, seperti diare, yang dapat mengurangi penyerapan nutrisi. Sebuah studi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2019) menunjukkan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah dengan sanitasi buruk memiliki risiko lebih tinggi mengalami gizi buruk yang berdampak pada stunting. Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan bahwa "sanitation, hygiene, and nutrition are intrinsically linked, and improving these factors is crucial for reducing stunting" (WHO, 2019).
Secara keseluruhan, fenomena keruangan stunting di Indonesia mencerminkan tantangan besar yang dihadapi dalam mencapai tujuan kesehatan masyarakat, terutama di wilayah yang kurang terlayani. Upaya intervensi yang lebih terintegrasi dan multisektoral sangat diperlukan untuk mengatasi akar permasalahan dan meningkatkan kesehatan anak di seluruh Indonesia.
Pemetaan Kasus Stunting: Suatu Analisis Spasial
Pemetaan kasus stunting menggunakan teknologi geospasial, seperti Sistem Informasi Geografis (SIG), sangat efektif untuk mengidentifikasi wilayah terdampak dan menentukan faktor-faktor penentu di setiap daerah. Dengan SIG, data stunting dapat divisualisasikan secara spasial, memungkinkan identifikasi kluster dengan prevalensi tinggi. Hal ini mendukung intervensi yang lebih tepat sasaran dan efisien. Pentingnya penggunaan peta dan grafik terletak pada kemampuannya untuk memvisualisasikan distribusi spasial stunting di Indonesia. Peta tematik dapat menggambarkan daerah dengan prevalensi tinggi, sementara grafik menunjukkan tren dan faktor-faktor yang memengaruhi kondisi tersebut.
SIG juga berfungsi untuk mengidentifikasi pola spasial dan menetapkan area prioritas untuk intervensi. Dengan analisis spasial yang cermat, pemangku kepentingan dapat menentukan daerah yang paling membutuhkan bantuan dan memantau perubahan dari waktu ke waktu. Seperti diungkapkan oleh Gatrell dan Lloyd (2005), “geographical information systems are essential for spatial analysis and can reveal patterns that are not immediately apparent through traditional methods” (Gatrell & Lloyd, 2005).
Sebagai contoh, studi pemetaan stunting di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menunjukkan bahwa desa-desa di dataran tinggi yang jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan cenderung memiliki prevalensi stunting yang lebih tinggi. Penelitian ini juga mengungkap bahwa daerah dengan ketersediaan air bersih minim dan akses sanitasi buruk memiliki risiko stunting yang signifikan. Menurut World Bank (2018), “Access to clean water and sanitation is a critical determinant of child nutritional outcomes, with significant disparities between rural and urban settings.” Data spasial ini memberikan informasi penting bagi pemerintah daerah untuk mengarahkan sumber daya ke wilayah yang paling membutuhkan intervensi, seperti pembangunan fasilitas sanitasi atau peningkatan layanan kesehatan.
Pemetaan stunting menggunakan SIG tidak hanya memberikan informasi spasial untuk mengidentifikasi wilayah rawan, tetapi juga membantu memvisualisasikan distribusi geografis prevalensi stunting dan hubungannya dengan kondisi lingkungan setempat. Studi di Kabupaten Sikka, NTT, mengungkapkan bahwa prevalensi stunting di daerah dengan infrastruktur buruk dan akses terbatas terhadap layanan kesehatan mencapai 39% (Bappeda NTT, 2021). Hal ini menunjukkan pentingnya pemetaan untuk merancang program intervensi yang lebih tepat sasaran.
Analisis yang lebih mendalam tentang faktor-faktor sosial ekonomi juga perlu dilakukan. Studi oleh UNICEF (2020) menunjukkan bahwa “socioeconomic status, including household income and maternal education, significantly influences child nutrition and health outcomes.” Oleh karena itu, pemetaan SIG harus dipadukan dengan data demografis dan sosial ekonomi untuk mengidentifikasi kebutuhan spesifik di setiap daerah.
Dengan memanfaatkan teknologi geospasial, pemetaan kasus stunting dapat memberikan dasar yang kuat untuk intervensi yang lebih terfokus pada daerah dengan risiko tinggi, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi, serta peningkatan akses layanan kesehatan. Melalui pendekatan ini, diharapkan program-program pemerintah dapat lebih tepat sasaran dan berdampak positif dalam mengurangi prevalensi stunting di Indonesia.

Difusi Kasus Stunting sebagai Proses Spasial
Difusi adalah proses penyebaran suatu fenomena dari satu tempat ke tempat lain, baik melalui kontak langsung maupun melalui faktor-faktor perantara. Dalam konteks stunting, difusi dapat dianalisis sebagai fenomena spasial yang menyebar melalui jalur geografis tertentu, baik melalui transmisi sosial-ekonomi maupun faktor lingkungan. Penyebaran stunting tidak hanya terjadi secara acak, tetapi mengikuti pola-pola tertentu yang dapat dipetakan dan dianalisis menggunakan pendekatan geospasial.
Difusi kasus stunting di Indonesia dapat dilihat melalui dua jenis penyebaran spasial: difusi ekspansi dan difusi relokasi. Difusi ekspansi terjadi ketika kasus stunting menyebar dari pusat-pusat populasi padat, seperti daerah perkotaan yang padat penduduk, ke daerah pinggiran dan perdesaan. Dalam skenario ini, kemiskinan, ketidakseimbangan ekonomi, serta keterbatasan akses terhadap layanan kesehatan di daerah pinggiran dapat memperburuk kondisi stunting. Sebaliknya, difusi relokasi terjadi ketika penduduk yang terpapar risiko stunting di satu wilayah berpindah ke wilayah lain. Sebagai contoh, migrasi perdesaan-ke-kota, yang sering kali melibatkan tenaga kerja dengan pendidikan rendah dan akses yang terbatas terhadap layanan kesehatan, dapat membawa faktor risiko stunting ke daerah perkotaan baru.
Proses difusi stunting juga dapat dianalisis dalam konteks hubungan antarwilayah. Misalnya, wilayah perdesaan yang terhubung secara ekonomi dengan kota-kota besar sering kali mengalami difusi stunting sebagai hasil dari migrasi tenaga kerja atau ketergantungan ekonomi pada kota. Di banyak daerah di Pulau Jawa, migrasi dari desa ke kota telah membawa kelompok masyarakat yang rentan secara ekonomi ke daerah-daerah urban pinggiran, yang umumnya memiliki akses terbatas terhadap air bersih, sanitasi, serta layanan kesehatan yang memadai. "Migration from rural to urban areas is a key factor in the spread of undernutrition, as slum conditions exacerbate health risks for vulnerable populations" (UNICEF, 2021). Proses ini menciptakan kantong-kantong stunting baru di wilayah perkotaan, yang sebelumnya mungkin memiliki prevalensi lebih rendah.
Difusi spasial stunting ini menggambarkan bagaimana kasus stunting menyebar dari satu wilayah ke wilayah lain melalui jalur sosial dan geografis. Perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi salah satu faktor utama dalam penyebaran stunting, terutama ketika mereka menetap di daerah dengan infrastruktur yang kurang memadai dan layanan kesehatan yang terbatas. Selain itu, interaksi ekonomi antarwilayah juga memperkuat difusi ini, di mana desa-desa yang bergantung pada kota besar mengalami tekanan ekonomi yang mempengaruhi asupan gizi dan kesehatan anak-anak di daerah tersebut.
Contoh nyata dari proses difusi ini terjadi di Pulau Jawa, di mana banyak tenaga kerja migran dari desa-desa tertinggal yang membawa risiko stunting ke permukiman urban pinggiran. Migrasi ini bukan hanya membawa tantangan ekonomi, tetapi juga memperparah ketidakmerataan akses terhadap kebutuhan dasar, seperti air bersih dan sanitasi, yang memperburuk prevalensi stunting di kawasan perkotaan.
Dengan memahami difusi kasus stunting sebagai proses spasial, pemerintah dan lembaga terkait dapat merancang intervensi yang lebih tepat sasaran, baik di daerah asal migrasi maupun di daerah tujuan, dengan mempertimbangkan pola migrasi, ketidakmerataan ekonomi, dan akses terhadap sumber daya kesehatan yang menjadi kunci dalam mengurangi risiko stunting di Indonesia.
Analisis Hubungan Ekologis Stunting
Dalam konteks geografi kesehatan, hubungan ekologis merujuk pada keterkaitan antara faktor-faktor lingkungan dan kesehatan populasi di suatu wilayah. Stunting tidak hanya dipengaruhi oleh faktor gizi dan kesehatan, tetapi juga oleh kondisi ekologis seperti kualitas lingkungan, iklim, dan akses terhadap sumber daya alam. Analisis hubungan ekologis terhadap stunting di Indonesia menunjukkan bahwa daerah dengan kualitas lingkungan yang buruk, termasuk kurangnya akses terhadap air bersih dan sanitasi yang memadai, memiliki tingkat stunting yang lebih tinggi.
Penelitian oleh WHO (2019) menegaskan bahwa "access to clean water and sanitation is critical in preventing stunting, as inadequate sanitation leads to diseases that inhibit nutrient absorption." Anak-anak yang tumbuh di lingkungan yang terpapar kontaminasi air atau yang sering mengalami diare cenderung lebih berisiko mengalami stunting karena terganggunya penyerapan nutrisi. Misalnya, di wilayah-wilayah seperti Papua dan NTT, sanitasi yang buruk serta kurangnya akses air bersih secara signifikan meningkatkan prevalensi penyakit infeksi, termasuk diare, yang memperburuk masalah stunting.
Selain itu, perubahan iklim dan ketidakstabilan cuaca, seperti kekeringan berkepanjangan di NTT, juga memperburuk kondisi stunting. Kekeringan mengakibatkan penurunan produksi pangan, sehingga akses terhadap makanan bergizi menjadi semakin terbatas. Penelitian oleh FAO (2020) menunjukkan bahwa "climate-related shocks significantly disrupt food systems, leading to increased food insecurity and higher rates of malnutrition." Dalam konteks hubungan ekologis, daerah yang sering mengalami bencana alam, seperti kekeringan dan banjir, juga lebih rentan terhadap peningkatan prevalensi stunting karena gangguan dalam distribusi pangan dan layanan kesehatan.
Determinasi sosial, seperti kemiskinan dan pendidikan, berperan penting dalam konteks ini. Keluarga dengan status sosial ekonomi rendah seringkali memiliki akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan pendidikan, yang mengurangi pengetahuan tentang gizi dan praktik kesehatan yang baik. Sebuah studi oleh UNICEF (2020) menyoroti bahwa "the interaction between socio-economic status and environmental factors creates disparities in child nutrition outcomes, with poorer families facing greater challenges in accessing clean water and adequate nutrition." Dengan kata lain, mereka cenderung tinggal di daerah dengan kualitas lingkungan yang lebih buruk, meningkatkan risiko stunting bagi anak-anak mereka.
Interaksi antara faktor lingkungan dan sosial juga mempengaruhi prevalensi stunting. Misalnya, lingkungan yang tidak sehat dapat memperburuk kondisi kesehatan anak, dan sebaliknya, keluarga dengan kondisi ekonomi buruk mungkin tidak mampu melakukan intervensi untuk memperbaiki kondisi lingkungan mereka. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan holistik yang mempertimbangkan berbagai faktor tersebut untuk memahami dan menangani masalah stunting secara efektif. Penanganan isu ini perlu melibatkan intervensi yang tidak hanya fokus pada aspek gizi, tetapi juga meningkatkan kondisi lingkungan, akses air bersih, dan sanitasi yang memadai.
Praktik Baik: Pendekatan Geografi Kesehatan
Salah satu praktik baik dalam upaya penurunan stunting di Indonesia adalah penggunaan teknologi geospasial, seperti Sistem Informasi Geografis (SIG), untuk memetakan prevalensi stunting di berbagai daerah. Teknologi ini memungkinkan pemerintah mengidentifikasi wilayah yang paling rentan terhadap stunting serta merancang intervensi yang lebih tepat sasaran.
Studi Kasus: Kabupaten Sumba Timur. Di Kabupaten Sumba Timur, NTT, SIG telah digunakan untuk memetakan desa-desa dengan akses sanitasi dan air bersih yang sangat rendah. Hasil pemetaan ini memberikan informasi berharga bagi pihak berwenang dalam mengalokasikan sumber daya dan merancang program intervensi yang lebih efektif. Salah satu intervensi yang berhasil adalah pembangunan infrastruktur sanitasi dan penyediaan akses air bersih di desa-desa dengan prevalensi stunting yang tinggi. Pemetaan yang akurat menjadi dasar untuk menentukan prioritas serta memonitor hasil program-program tersebut. Pemetaan berbasis geospasial menjadi kunci dalam perencanaan dan pelaksanaan program kesehatan yang berorientasi pada hasil (Kemenkes, 2022). Penggunaan teknologi geospasial di Sumba Timur menunjukkan bagaimana pemetaan dapat membantu identifikasi area dengan kebutuhan mendesak, memungkinkan intervensi yang lebih terfokus dan efisien.
Studi Kasus: Kabupaten Sikka. Kabupaten Sikka, juga di NTT, memiliki prevalensi stunting yang tinggi, mencapai lebih dari 30% pada tahun 2020. Studi pemetaan menunjukkan bahwa penyebaran kasus stunting sangat terkait dengan ketersediaan akses terhadap air bersih dan sanitasi. Desa-desa di daerah dataran tinggi yang jauh dari sumber air bersih menunjukkan prevalensi stunting lebih tinggi dibandingkan desa-desa di dataran rendah yang dekat dengan fasilitas air. Penelitian mengenai difusi spasial stunting di Kabupaten Sikka menunjukkan adanya perpindahan penduduk dari desa terpencil ke ibu kota kabupaten untuk mencari pekerjaan. Namun, banyak dari mereka yang tinggal di daerah kumuh dengan akses sanitasi yang buruk, yang memperburuk risiko stunting di wilayah urban. Seperti dinyatakan dalam penelitian FAO (2019), "urbanization of poverty, coupled with poor living conditions in slums, contributes significantly to the continuation of malnutrition, including stunting." Kasus Sikka menegaskan pentingnya analisis spasial dalam memahami dinamika stunting, termasuk dampak urbanisasi yang sering diabaikan. Dengan memanfaatkan data geospasial, pemangku kepentingan dapat merumuskan strategi yang lebih inklusif untuk mengatasi stunting di berbagai konteks.
Keberhasilan di Peru. Sebagai perbandingan, Peru telah menjadi salah satu contoh sukses dalam mengurangi prevalensi stunting melalui pendekatan berbasis geografi kesehatan. Pada tahun 2008, prevalensi stunting di Peru mencapai 28%, angka signifikan dalam konteks kesehatan anak. Namun, negara ini berhasil menurunkannya hingga 13% dalam dekade berikutnya, sebuah pencapaian yang diatribusikan kepada beberapa strategi kunci yang memanfaatkan teknologi geospasial (WHO, 2021).
Peru menerapkan teknologi pemetaan geospasial untuk mengidentifikasi daerah-daerah dengan prevalensi stunting yang tinggi, terutama di wilayah perdesaan yang terpencil. Dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG), pemerintah dan organisasi non-pemerintah dapat memetakan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap stunting, seperti akses terhadap air bersih, sanitasi, dan layanan kesehatan. Pemetaan ini memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih baik dalam alokasi sumber daya dan perancangan program intervensi yang lebih tepat sasaran. Daerah-daerah yang teridentifikasi dengan prevalensi tinggi menerima perhatian khusus, sehingga intervensi dapat difokuskan di tempat-tempat yang paling membutuhkan (FAO, 2020).
Berdasarkan hasil pemetaan, pemerintah Peru meluncurkan serangkaian program intervensi yang terintegrasi, meliputi (UNICEF, 2019):
- Peningkatan Akses Air Bersih dan Sanitasi: Proyek infrastruktur dilakukan untuk membangun sistem penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak di daerah-daerah terpencil, termasuk pembangunan sumur, pipa air, dan fasilitas sanitasi yang memadai.
- Program Gizi dan Pangan: Peningkatan akses terhadap pangan bergizi menjadi fokus utama, dengan program distribusi pangan bergizi diluncurkan untuk memastikan anak-anak dan ibu hamil mendapatkan asupan nutrisi yang cukup.
- Layanan Kesehatan yang Ditingkatkan: Penyediaan layanan kesehatan yang lebih baik, termasuk akses kepada perawatan kesehatan prenatal dan pascapersalinan, diperkuat dengan pelatihan tenaga kesehatan untuk mendeteksi dan menangani masalah gizi sejak dini.
- Edukasi Masyarakat: Edukasi mengenai gizi dan praktik kesehatan yang baik dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya nutrisi dalam pertumbuhan anak.
Melalui serangkaian intervensi yang terkoordinasi, Peru berhasil mencapai penurunan stunting yang signifikan. Penelitian menunjukkan bahwa wilayah yang mendapat intervensi mengalami perbaikan lebih cepat dalam status gizi anak dibandingkan daerah yang tidak terjangkau program. Pendekatan berbasis data ini juga memungkinkan pemantauan yang lebih efektif terhadap hasil program, sehingga kebijakan dapat disesuaikan berdasarkan data terbaru (Gonzales et al., 2020).
Keberhasilan Peru menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi geospasial dan pendekatan multisektoral dapat menjadi strategi efektif dalam mengatasi masalah stunting. Ini juga memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara lain, termasuk Indonesia, dalam merancang program penanggulangan stunting yang lebih efektif dan berbasis data.
Tantangan dan Potensi Pendekatan Geografi Kesehatan
Meskipun penerapan geografi kesehatan memiliki banyak potensi dalam penanggulangan masalah kesehatan masyarakat, seperti stunting, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam implementasinya. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan data. Ketersediaan dan akurasi data sangat krusial dalam analisis geospasial; banyak daerah, terutama yang terpencil, tidak memiliki data yang lengkap atau terkini. Data yang tidak akurat dapat mengakibatkan keputusan yang salah dalam merancang intervensi. Budiyono dan Supriyanto (2020) menegaskan, "Data yang tidak memadai menghambat upaya dalam mengidentifikasi masalah kesehatan dengan tepat." Selain itu, kapasitas sumber daya manusia juga menjadi isu penting. Keterampilan dan pengetahuan tentang teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) di kalangan petugas kesehatan dan pemangku kepentingan sering kali kurang memadai. Widiastuti (2019) menyatakan, "Tanpa penguasaan SIG yang baik, pemangku kepentingan tidak dapat memanfaatkan data geospasial secara maksimal." Tak kalah pentingnya, koordinasi antar sektor sering kali kurang efektif. Pendekatan multisektoral memerlukan kolaborasi yang baik antara berbagai instansi pemerintah dan organisasi non-pemerintah, tetapi sering kali terjadi kurangnya komunikasi yang dapat menghambat pelaksanaan program secara komprehensif. Jansen et al. (2021) mencatat, "Koordinasi yang lemah antar sektor dapat mengurangi efektivitas intervensi yang dirancang untuk masalah kesehatan masyarakat."
Potensi penerapan pendekatan geografi kesehatan dalam konteks penurunan stunting sangat besar. Salah satu potensi yang dapat dipertimbangkan adalah integrasi teknologi terkini. Penggunaan teknologi seperti big data dan machine learning dapat meningkatkan ketepatan analisis spasial. Dengan kemampuan menganalisis data dalam jumlah besar, pola-pola yang sebelumnya tidak terlihat dapat diidentifikasi. Zhang et al. (2022) menjelaskan bahwa "Teknologi big data memungkinkan analisis yang lebih mendalam dan akurat terhadap masalah kesehatan, termasuk stunting." Selain itu, penguatan kapasitas sumber daya manusia juga sangat penting. Meningkatkan pelatihan dan pendidikan untuk petugas kesehatan dan pemangku kepentingan lainnya mengenai penggunaan SIG akan memperkuat penerapan teknologi ini. Terakhir, peningkatan koordinasi antar sektor perlu diperhatikan; membangun jaringan yang lebih kuat antara berbagai instansi dan organisasi untuk berbagi data dan informasi sangat krusial. Dengan platform kolaboratif, komunikasi dapat diperkuat, dan implementasi program penanggulangan stunting dapat dipercepat.
Penutup
Geografi kesehatan memainkan peran penting dalam penurunan prevalensi stunting melalui pemanfaatan analisis spasial dan teknologi geospasial. Dengan pendekatan konvergen dan kolaborasi multisektoral, pemangku kepentingan dapat mengidentifikasi daerah rawan stunting dan merancang intervensi yang lebih tepat sasaran. Meskipun terdapat tantangan seperti keterbatasan data dan koordinasi antar sektor, penggunaan teknologi terkini dan penguatan kapasitas sumber daya manusia menawarkan potensi besar untuk meningkatkan efektivitas program. Studi kasus di berbagai daerah menunjukkan bahwa pemetaan dan analisis geospasial dapat memberikan wawasan berharga untuk merespons masalah stunting secara lebih strategis. Dengan demikian, pengintegrasian geografi kesehatan ke dalam kebijakan dan program kesehatan masyarakat diharapkan dapat berkontribusi signifikan dalam mengurangi prevalensi stunting di Indonesia dan meningkatkan kesehatan anak secara keseluruhan.
Referensi
- Anselin, L. (1995). Local indicators of spatial association—LISA. Geographical Analysis, 27(2), 93-115.
- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2022). Laporan Evaluasi Program Penurunan Stunting. Diakses dari www.bappenas.go.id.
- Bappeda NTT. (2021). Laporan Pemantauan Pembangunan Daerah Provinsi NTT. Diakses dari www.bappeda.nttprov.go.id.
- Budiyono, A., & Supriyanto, S. (2020). Keterbatasan Data dalam Penanganan Masalah Kesehatan Masyarakat. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 15(1), 45-52.
- Dewey, K. G., & Begum, K. (2011). Long-term consequences of stunting in early childhood. Maternal & Child Nutrition, 7(S3), 5-18. DOI: 10.1111/j.1740-8709.2011.00361.x.
- FAO (Food and Agriculture Organization). (2019). Reducing Stunting through Rural Interventions: Peru Case Study. Diakses dari www.fao.org.
- FAO. (2019). The State of Food Security and Nutrition in the World 2019. Diakses dari www.fao.org.
- FAO. (2020). The State of Food Security and Nutrition in the World 2020. Diakses dari www.fao.org.
- Fischer, F., et al. (2019). Using GIS for mapping stunting prevalence in children under five years in Indonesia. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(8), 1361. DOI: 10.3390/ijerph16081361.
- Gatrell, A. C., & Lloyd, C. D. (2005). Geography and Health. New York: Routledge.
- Jansen, S., Van der Laan, J., & Wong, L. (2021). The Role of Intersectoral Coordination in Public Health Interventions: A Review. Public Health Reports, 136(2), 123-130.
- Kearney, J. (2016). The Role of Geographic Information Systems in Public Health. American Journal of Public Health, 106(1), 1-5.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Laporan Stunting Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Diakses dari www.kemkes.go.id.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Profil Kesehatan Indonesia. Diakses dari www.kemkes.go.id.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Program Nasional Percepatan Penurunan Stunting. Diakses dari www.kemkes.go.id.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2022). Survei Status Gizi Indonesia 2022. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Diakses dari www.kemkes.go.id.
- Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia. (2021). Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting. Jakarta: Sekretariat Negara. Diakses dari www.setneg.go.id.
- Pradipta, A. (2021). Hubungan Antara Akses Air Bersih dan Sanitasi dengan Prevalensi Stunting. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
- Priatmadani, H. U. A., Putri, S. M., Pramana, A. S., Palupi, R., & Budiasih, B. (2021). Determinan prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2021: Pendekatan model spasial. Politeknik Statistika STIS.
- Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, Tim Percepatan Penurunan Anak Kerdil (Stunting). (2020). Peta Jalan Percepatan Pencegahan Stunting Indonesia, 2018-2024. Diakses dari https://stunting.go.id.
- Sumadi, D. (2020). Penggunaan SIG untuk Penanggulangan Stunting di Indonesia.
- UNDP. (2019). Using GIS for Health Monitoring: A Practical Guide. Diakses dari www.undp.org.
- UNDP. (2020). Human Development Report. Diakses dari www.undp.org.
- UNICEF. (2019). The State of the World’s Children 2019: Children, Food and Nutrition. Diakses dari www.unicef.org.
- UNICEF. (2020). The State of the World’s Children 2020. Diakses dari www.unicef.org.
- UNICEF. (2021). Laporan Tahunan Indonesia 2021. Diakses dari www.unicef.org.
- UNICEF. (2021). The Impact of Urbanization on Child Nutrition and Health. Diakses dari www.unicef.org.
- UNICEF. (2022). Laporan Tahunan Indonesia 2022. Diakses dari www.unicef.org.
- WHO (World Health Organization). (2019). Global Nutrition Report 2019. Diakses dari www.who.int.
- WHO. (2019). Guidelines on Sanitation and Health. Diakses dari www.who.int.
- WHO. (2020). Telemedicine in Rural Health Interventions. Diakses dari www.who.int.
- World Bank. (2018). Child Stunting in Indonesia: Challenges and Opportunities. Diakses dari www.worldbank.org.
- World Bank. (2018). World Development Report 2018: Learning to Realize Education’s Promise. Diakses dari www.worldbank.org.
- World Bank. (2018). Tackling Stunting: A Case for Multisectoral Approaches. Diakses dari www.worldbank.org.
- World Bank. (2020). Indonesia's Stunting Prevention Strategy: A Comprehensive Approach to Reduce Stunting. Diakses dari www.worldbank.org.
- Zhang, Y., Li, H., & Wang, J. (2022). Big Data in Health Research: A Systematic Review. Health Informatics Journal, 28(1), 1-12.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar