10 September 2009

Analisis Wilayah Sebaran Penyakit Malaria di Kabupaten Ciamis

1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hingga saat ini, penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan di dunia di samping munculnya penyakit non infeksi. Malaria merupakan salah satu jenis penyakit infeksi yang persebarannya di dunia sangat luas, meliputi lebih dari 100 negara yang beriklim tropis dan sub tropis. Penduduk dunia yang berisiko terkena Malaria berjumlah sekitar 2,3 miliar atau 41% dari seluruh jumlah penduduk dunia. Setiap tahunnya jumlah kasus Malaria berjumlah sekitar 300 – 500 juta dan mengakibatkan 1,5 – 2,7 juta kematian (Harijanto, 2000).
Demikian pula di Indonesia, Malaria masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat. Rata-rata kasus malaria diperkirakan sebesar 15 juta kasus klinis per tahun. Penduduk yang terancam malaria adalah penduduk yang umumnya tinggal di daerah-daerah yang termasuk wilayah endemik Malaria. Diperkirakan penduduk yang tinggal di wilayah endemik Malaria sekitar 85,1 juta jiwa dengan tingkat endemisitas dari rendah, sedang, dan tinggi (Depkes, 2003). Ini berarti bahwa sekitar 35% penduduk Indonesia tinggal di wilayah endemis Malaria (Depkes, 2002).
Selama periode 1995 – 2000 telah terjadi peningkatan insidens Malaria, walapun pada periode 2001 – 2003 terjadi penurunan kembali. Insidens Malaria di Jawa dan Bali (annual parasite incidence / API) sebesar 0,07 per 1.000 penduduk pada tahun 1995 meningkat tajam menjadi 0,81 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 dan kemudian turun kembali menjadi 0,22 per 1.000 penduduk pada tahun 2003. Demikian pula insidens Malaria di Luar Jawa dan Bali (annual malaria incidence / AMI) sebesar 19,38 per 1.000 penduduk meningkat menjadi 31,1 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 dan kemudian turun kembali menjadi 21,8 per 1.000 penduduk pada tahun 2003. Penurunan insiden Malaria pada tahun 2001 – 2003, salah satunya karena keberhasilan Gebrak Malaria (Gerakan Berantas Kembali Malaria) yang mulai dilaksanakan pada bulan April tahun 2000 (Depkes, 2005).
Bahkan menurut Depkes (2005) selama tahun 2003 telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) Malaria di 7 provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Barat, Maluku Utara, Kalimantan Barat, DI Yogyakarta, dan Provinsi Lampung dengan jumlah penderita yang tercatat sebanyak 3.267 orang dan jumlah kematian sebanyak 211 orang.
Banyak aspek yang diduga menjadi penyebab meningkatnya kembali Malaria di Indonesia, seperti kondisi geografi, demografi, sosial, politik, dan manajemen pemberantasan. Indonesia merupakan wilayah kepulauan dengan iklim tropis yang merupakan daerah yang cocok bagi perkembangbiakan nyamuk penular (vektor) Malaria (Achmadi, 2003). Di Indonesia diketahui ada 80 spesies nyamuk Anopheles dan 22 spesies di antaranya telah ditetapkan sebagai penular Malaria (Wasisto, 2003). Beberapa spesies nyamuk penular Malaria di Indonesia telah diketahui ada yang telah resisten dengan insektisida tertentu sehingga menambah sulit upaya pemberantasannya.
Mobilitas penduduk yang tinggi sangat berpengaruh pula terhadap penyebaran Malaria. Dari segi sosial, kebiasaan, sikap, dan perilaku penduduk sangat terkait dengan penularan Malaria. Kebiasaan penduduk dalam berpakaian, tidur, dan penggunaan obat anti nyamuk sangat berpengaruh terhadap terjadinya penularan Malaria. Situasi politik seperti krisis ekonomi dan konflik sosial langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kemudahan terjadinya penularan Malaria. Perpindahan penduduk akibat krisis ekonomi dan konflik sosial secara tidak sengaja dapat membawa parasit Malaria di daerah pemukimannya yang baru (Achmadi, 2003).
Dalam epidemiologi, kejadian atau penularan penyakit menular sangat tergantung pada interaksi antara host, agent, dan environment (Gordon, 1994 dalam Alim 2003). Demikian pula epidemiologi Malaria, adanya hubungan yang saling berkaitan antara host, agent, dan environment pada kejadian atau penularan Malaria. Manusia sebagai host intermediate merupakan tempat berkembangbiak agent (parasit Plasmodium). Nyamuk Anopheles sebagai host definitive merupakan penular (vektor) Malaria yaitu nyamuk Anopheles betina yang menghisap darah. Plasmodium (P. falsifarum, P. vivax, P. ovale, P. malariae) sebagai agent atau penyebab penyakit Malaria merupakan parasit dalam darah manusia. Lingkungan merupakan faktor penting dalam penularan Malaria di mana lingkungan sebagai tempat kelangsungan hidup host dan berinteraksi dengan agent.
Interaksi manusia dengan lingkungan dapat menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Sering terjadi, kuman yang tinggal di tubuh inang (host) kemudian berpindah ke manusia, karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus penularan berbagi penyakit melalui binatang yang mengalami domestikasi seperti sapi, babi, dan anjing. Loncat inang juga terjadi karena perubahan lingkungan. Misalnya perambahan hutan, pengubahan pola tanam pertanian, pendangkalan rawa, dan sebagainya. Perubahan lingkungan juga menyebabkan manusia lebih mudah terpapar, melalui kontak langsung ataupun melalui kotoran, dengan hewan-hewan yang menjadi inang alami (natural host) kuman (Danoedoro, 2003).
Sesungguhnya, ide tempat atau lokasi mempengaruhi kesehatan merupakan konsep lama dan populer pada pengobatan barat. Jauh di masa lampau Hipocrates (360 – 370SM), bapak kedokteran moderen, yang mengamati bahwa penyakit tertentu tampak terjadi pada tempat tertentu dan tidak pada tempat lain. Hippocrates secara tekun telah mencari sebab penyakit. Dia mempelajari bagaimana cuaca, air, pakaian, makanan, pola makan dan minum berpengaruh pada timbulnya penyakit. Konsep Hippocrates tentang sehat dan sakit menekankan hubungan antara manusia dan lingkungannya, di mana perbedaan wilayah terkait dengan profil sehat dan sakit tersebut yang berubah sesuai perjalanan waktu (Boulos, 2000).
Lebih lanjut, usaha memahami mengapa penyakit tertentu tampak hanya terjadi pada tempat tertentu dan tidak pada tempat lain mengarahkan dugaan baru tentang sifat alamiah penyakit itu. Lompatan sejarah pada revolusi pengobatan adalah "kesadaran besar akan lingkungan bersih" terjadi di Inggris pertengahan abad ke-19 yang secara berkelanjutan menyebar ke beberapa negara lain. Studi dilakukan oleh John Snow (1854), seorang ahli anestesi, mendemostrasikan kegunaan pemetaan dan surveilans pada letusan kasus penyakit Kolera (Boulos, 2000).
Faktor ekologis juga ditemukan oleh peneliti di India (Srivastava dkk, 2003) yang mengkaji hubungan kualitas permukiman urban dan peri-urban dengan insidensi Malaria (Danoedoro, 2003). Studi tentang hubungan spasial antara kasus Malaria dengan faktor lingkungan di Belize Amerika Tengah menunjukkan adanya variasi distribusi persebaran Malaria antar area geografis dan antar musim (Hakre, 2004). Adanya keterkaitan lokasi dan fenomena kesehatan masyarakat inilah yang digunakan sebagai dasar pemikiran dalam pemecahan masalah-masalah kesehatan masyarakat.
Dalam perkembangannya kajian terhadap masalah-masalah itu disebut geografi kesehatan yang mencakup geografi penyakit dan geografi pelayanan kesehatan. Geografi penyakit, meliputi eksplorasi, deskripsi, dan pemodelan ruang-waktu atas kejadian penyakit, berkaitan dengan persoalan lingkungan, deteksi dan analisis kluster dan pola penyebaran penyakit, analisis sebab-akibat dan rumusan hipotesis-hipotesis baru mengenai penyebab penyakit. Sedangkan geografi sistem pelayanan kesehatan, berkaitan dengan perencanaan, manajemen dan jaminan pelayanan agar sesuai kebutuhan, merumuskan kebutuhan kesehatan masyarakat yang dilayani, dan pola wilayah yang dilayani service catchment zones (Boulos, 2000).
Analisis ekologis merupakan salah satu pendekatan geografi, dilakukan untuk mempelajari fenomena interaksi antara organisme hidup dengan lingkungan (Bintarto dan Hadisumarno, 1987). Bertitik tolak pada konsep hubungan ekologis, geografi kesehatan mendiskripsikan pola penyakit ke dalam eksplorasi, analisis, dan penjelasan pola itu. Logika utama yang mendasari konsep ini adalah bahwa sesungguhnya hampir setiap penyakit memperlihatkan variasi spasial. Salah satu tujuan utama dari geografi kesehatan adalah untuk menguraikan dan menjelaskan variasi itu. Jika angka prevalesi, angka insiden, atau ukuran-ukuran frekuensi lainnya berubah-ubah secara spasial, kemudian faktor apa yang dapat menjelaskan variasi itu? Jika kejadian penyakit diperlakukan sebagai variabel terikat, kemudian variabel bebas mempengaruhi variabel terikat secara statistik atau kausalitik atau kedua-duanya. Dengan kata lain, dengan faktor-faktor apa variasi spasial angka penyakit dapat dihubungkan? Ini merupakan masalah pokok yang disebutkan dengan konsep hubungan ekologis, dan selanjutnya digunakan sebagai dasar sebagian besar geografi kesehatan (Mayer, 1986 dalam Pacion, 1986).
Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten endemik Malaria. Menurut laporan Depkes, pada tahun 1997 – 2001 angka kesakitan Malaria (API) di Kabupaten Ciamis cenderung meningkat yaitu dari 0,39 per 1.000 penduduk pada tahun 1997 meningkat menjadi 1,54 per 1.000 penduduk pada tahun 2001.
Fakta besarnya masalah kesehatan masyarakat yang terkait dengan Malaria di Kabupaten Ciamis menunjukkan besarnya kondisi yang menjadi potensi terjadinya Malaria. Berpijak pada dasar pemikiran adanya keterkaitan antara lokasi dan fenomena kesehatan masyarakat, kondisi yang menyebabkan kejadian Malaria di Kabupaten Ciamis mungkin disebabkan faktor lingkungan yang berisiko menjadi habitat berbagai spesies nyamuk Anopheles sebagai vektor Malaria.
Oleh karena itu, untuk memperkirakan perjangkitan di masa datang agar penanggulangan Malaria dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien, maka perlu dilakukan analisis ekploratif terhadap wilayah-wilayah persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis. Analisis eksploratif dilakukan dengan fokus pada sebaran kasus Malaria, hubungan antara faktor yang diduga mempengaruhi penyebarannya, dan identifikasi wilayah rawan dan wilayah risiko persebarannya.
1.2. Tujuan dan Sasaran
1.2.1. Tujuan
Tujuan dari analisis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis
1.2.2. Sasaran
Sasaran dari analisis ini adalah sebagai berikut:
1. Diketahuinya persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001
2. Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis
1.3. Ruang Lingkup
Analisis ini merupakan studi eksplorasi persebaran wilayah kasus Malaria dengan menggunakan pendekatan analisis spasial, di mana analisis spasial dimaksud mencakup 2 konsepsi. Pertama, pola spasial untuk menggambarkan sebaran kasus Malaria menurut waktu dan tempat yang disajikan dalam peta. Kedua, proses spasial untuk menggambarkan variabel serta hubungan antar variabel sehingga diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria.
Pada analisis ini, untuk menggambarkan sebaran kasus Malaria menurut waktu dan tempat digunakan data kasus Malaria tahun 1997 – 2001 dan untuk melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria digunakan peta. Analisis ini memfokuskan pada analisis hubungan antara wilayah rawan kasus Malaria yang merupakan proksi dari ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman dengan persebarannya. Sementara itu, wilayah yang digunakan adalah wilayah administrasi Kabupaten Ciamis yang terletak antara antara 108o10’ – 108o48’ Bujur Timur dan 7o03’ – 7o50’ Lintang Selatan.
1.4. Perumusan Masalah
Sebagaimana disebutkan di atas, Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten endemik Malaria di Jawa Barat dengan angka kesakitan Malaria pada periode tahun 1997 – 2001 cenderung meningkat yaitu dari 0,39 per 1.000 penduduk pada tahun 1997 meningkat menjadi 1,54 per 1.000 penduduk pada tahun 2001. Situasi yang demikian tentunya menjadi masalah kesehatan masyarakat. Sementara itu, menurut kajian pustaka banyak faktor yang mempe-ngaruhi persebaran Malaria, di antaranya adalah lingkungan. Hal ini berarti ada suatu kondisi lingkungan yang menjadi potensi terjadinya Malaria di Kabupaten Ciamis.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta tersebut menarik bila dilakukan analisis pola spasial untuk menggambarkan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada periode itu, dan analisis proses spasial untuk menggambarkan hubungan antar variabel atau faktor yang diduga berhubungan dengan persebaran kasus Malaria.
Berdasarkan latar belakang, landasan teori, asumsi-asumsi hubungan, dan keterbatasan analisis, serta ruang lingkup analisis geografi, maka permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis?
2. Apakah ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman berhubungan dengan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis?

1.5. Kerangka Pikir
Pada bagian kerangka pikir diuraikan mengenai kerangka teori dan kerangka konsep analisis.
1.5.1. Kerangka Teori
Kerangka teori dalam analisis ini digunakan untuk menggambarkan faktor-faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria secara teoritis berdasarkan kajian pustaka, di mana transmisi Malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu manusia, vektor (nyamuk), parasit (plasmodium), dan lingkungan (fisik, kimiawi, biologi, sosial budaya), serta pelayanan kesehatan yang secara langsung dan tidak langsung ikut mempengaruhi ketiga faktor di atas dan interaksi di antaranya, sebagaimana disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 1
Kerangka Teori Kejadian Malaria

Sumber: Alim, 2003
Kerangka terori ini dibangun dengan memodifikasi teori tradisional Paradigma Kesehatan Lingkungan HL Blum (1984), bahwa status atau derajat kesehatan manusia secara berurutan (dari faktor yang paling kecil ke paling besar) dipengaruhi oleh faktor genetik (manusia), pelayanan kesehatan, perilaku, dan lingkungan, di mana keempat faktor tersebut saling mempengaruhi (Alim, 2003).
Selanjutnya menurut Gordon (1994) dalam epidemiologi, kejadian atau penularan penyakit menular ditentukan oleh faktor-faktor yang disebut host, agent, dan environment (Alim 2003). Demikian pula epidemiologi Malaria, ada hubungan yang saling berkaitan antara host (manusia dan nyamuk Anopheles), agent (parasit Plasmodium), dan environment (lingkungan fisik, kimiawi, biologik, sosial) pada kejadian atau penularan Malaria. Dengan demikian, ketiga faktor tersebut di atas mempengaruhi persebaran kasus Malaria dalam suatu wilayah tertentu.
Berdasarkan keterbatasan analisis sebagaimana dinyatakan pada ruang lingkup, maka kerangka teori tersebut di atas disederhanakan ke dalam suatu model dalam perspektif geografi yang menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi persebaran kasus Malaria dalam suatu wilayah. Pada model kerangka teori dimaksud, komponen lingkungan digambarkan melalui faktor ketinggian lokasi, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman.
Gambar 2
Penyederhanaan Model Kerangka Teori Persebaran Kasus Malaria
Ketinggian lokasi. Persebaran kasus Malaria sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim seperti suhu, kelembaban, dan hujan (CDC, 2004). Seperti kita ketahui, tiap kenaikan ketinggian 100 meter maka selisih suhu udara dengan tempat semula adalah 0,6°C. Bila perbedaan tempat cukup tinggi, maka perbedaan suhu udara juga cukup banyak dan akan mempengaruhi faktor-faktor yang lain seperti penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk dan musim penularan (Depkes, 2004). Secara umum Malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah. Pada ketinggian di atas 1.000 m jarang ada transmisi Malaria (Gunawan dalam Harijanto, 2000). Ini berarti bahwa semakin rendah lokasi, semakin banyak kasus Malaria.
Jaringan sungai. Pada siang hari nyamuk akan mencari tempat untuk beristirahat dan berlindung dari panas matahari. Tempat-tempat yang dicari adalah yang teduh dengan kelembaban yang cukup dan biasanya terdapat di bawah tumbuh-tumbuhan terutama di sekitar sungai (Depkes, 2004). Di samping sebagai tempat berlindung, nyamuk juga dapat berkembang-biak pada air mengalir antara lain mata air, anak sungai, terusan atau kanal, dan sungai. Vektor Malaria utamanya adalah An. maculatus. An. maculatus biasanya bersarang di sepanjang aliran sungai dan di sawah dengan sistem irigasi alam, khususnya sawah yang dipanen dua kali dengan irigasi alami sepanjang tahun di wilayah perbukitan (Lou, 2000). Ini berarti bahwa sepanjang siklus hidupnya, nyamuk membutuhkan air terutama sebagai tempat perindukan dan istirahat. Oleh karena itu, semakin rapat jaringan sungai, semakin banyak kasus Malaria.
Lahan basah (wet land). Ketersediaan air merupakan syarat utama bagi stadium pradewasa nyamuk. Stadium pradewasa dimulai dari telur sampai dengan pupa yang hidup di air (Munif, 1990). Pada stadium dewasapun, nyamuk juga membutuhkan air. Vektor Malaria utamanya adalah An. maculatus. An. maculatus biasanya bersarang di sepanjang aliran sungai dan di sawah dengan sistem irigasi alam, khususnya sawah yang dipanen dua kali dengan irigasi alami sepanjang tahun di wilayah perbukitan. Di wilayah datar, vektor utama adalah An. aconitus. An. aconitus terutama bersarang di persawahan dataran rendah (Lou, 2000). Ini berarti bahwa persawahan, rawa, danau, situ, atau lahan basah lainnya berpotensi sebagai tempat berkembang-biak nyamuk vektor Malaria. Oleh karena itu, semakin besar persentase luas lahan basah, semakin banyak kasus Malaria.
Permukiman. Risiko terjadinya penularan atau penyebaran Malaria oleh nyamuk Anopheles (vektor) sangat tergantung pada ada atau tidaknya manusia sebagai host intermediate. Ini berarti bahwa kepadatan penduduk di suatu wilayah berpengaruh terhadap penularan atau penyebaran Malaria. Kepadatan penduduk juga menentukan cepat lambatnya penyakit dapat menular (Sumirat, 2000). Semakin padat jumlah penduduk di suatu wilayah akan semakin besar risiko terjadi penularan atau penyebaran Malaria. Kerapatan permukiman secara langsung maupun tidak langsung dapat menggambarkan kepadatan penduduk di suatu wilayah. Oleh karena itu, semakin besar persentase luas permukiman, semakin banyak kasus Malaria.
1.5.2. Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang ada, berikut ini rumusan kerangka konsep analisis yang menggambarkan variabel-variabel dalam analisis serta menggambarkan hubungan antar variabel-variabel dimaksud.
Gambar 3
Kerangka Konsep Persebaran Kasus Malaria
1.6. Hipotesis dan Variabel Analisis
Berdasarkan kerangka pikir tersebut di atas, berikut ini rumusan hipotesis dan variabel analisis.
1.6.1. Hipotesis
Berikut ini rumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan.
§ Ada hubungan antara ketinggian lokasi dengan persebaran kasus Malaria
§ Ada hubungan antara kerapatan jaringan sungai dengan persebaran kasus Malaria
§ Ada hubungan antara persentase luas lahan basah dengan persebaran kasus Malaria
§ Ada hubungan antara persentase luas permukiman dengan persebaran kasus Malaria
1.6.2. Variabel Analisis
Untuk menguji apakah hipotesis terbukti secara bermakna, berikut ini ditetapkan variabel-variabel analisis.
Variabel dependen (terikat) pada analisis ini (Y) adalah persebaran kasus Malaria, dengan parameter jumlah kasus Malaria positif pada tahun 1997 – 2001 per desa.
Sedangkan variabel independen (bebas) pada analisis ini (X) adalah sebagai berikut:
§ Ketinggian, dengan parameter rata-rata ketinggian lokasi dalam administratif desa
§ Jaringan sungai, dengan parameter besarnya kerapatan jaringan sungai dalam administratif desa
§ Lahan basah, dengan parameter persentase luas lahan basah (persawahan, rawa, situ, danau, atau lahan basah lainnya) terhadap administrasi desa
§ Permukiman, dengan parameter persentase luas permukiman terhadap luas administratif desa
1.7. Metode Analisis
Pada bagian ini diuraikan beberapa hal yang menyangkut metodologi analisis yaitu uraian tentang rancangan analisis, lokasi penelitian, sumber data, dan uraian tentang manajemen dan analisis data.
1.7.1. Rancangan Analisis
Analisis ini merupakan studi eksplorasi wilayah persebaran kasus Malaria dengan menggunakan pendekatan analisis spasial, yang mencakup pola spasial untuk menggambarkan sebaran kasus Malaria menurut waktu dan tempat yang disajikan dalam peta, dan proses spasial untuk menggambarkan variabel serta hubungan antar variabel sehingga diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria. Ini berarti bahwa analisis ini juga mencakup 2 hal sekaligus yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif.
Untuk menggambarkan variabel dan hubungan antar variabel, digunakan analisis statistik. Analisis statistik digunakan untuk menguji hipotesis yang dibangun berdasarkan rumusan masalah, kerangka pikir, dan kajian pustaka, sehingga hubungan antar variabel dapat dibuktikan secara statistik.
Unit analisis atau unit sampel pada analisis ini adalah administrasi desa. Sampel yang dipilih untuk mewakili populasi adalah seluruh desa dengan kasus Malaria, sehingga besar sampel sama dengan populasi.
1.7.2. Lokasi Analisis
Analisis ini dilakukan pada administrasi Kabupaten Ciamis yang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian Selatan Provinsi Jawa Barat yang terletak antara 108o10’ – 108o48’ Bujur Timur dan 7o03’ – 7o50’ Lintang Selatan. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cilacap Provinsi Jawa Tengah.
1.7.3. Sumber Data
Pengumpulan data dilakukan dengan memanfaatkan berbagai data yang ada di instansi terkait. Sumber data dimaksud adalah:
- Data kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001 diperoleh dari Sub Direktorat Malaria, Direktorat P2B2, Ditjen PPMPL Depkes
- Peta rupa bumi tahun 1999 sebagai dasar pembuatan peta yang digunakan dalam analisis bersumber dari Bakosurtanal yang diperoleh dari Laboratorium Geografi Fisik, Departemen Geografi FMIPA-UI.
1.7.4. Manajemen Data
Data baik kasus Malaria maupun peta rupa bumi yang digunakan dalam analisis merupakan data sekunder, karena pengumpulannya tidak dilakukan secara langsung melainkan diperoleh dengan memanfaatkan berbagai data yang telah dikumpulkan oleh institusi terkait.
Untuk memperoleh pola spasial kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001 dan wilayah persebaran Malaria di Kabupaten Ciamis data diolah dengan menggunakan software ArcView GIS 3.3. Sedangkan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis data diolah dengan menggunakan software SPSS 12.
1.7.5. Analisis Data
Analisis data difokuskan untuk mengetahui persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2004, untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan sehingga diketahui faktor-faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria, dan untuk mengidentifikasi wilayah rawan dan wilayah risiko persebaran Malaria di Kabupaten Ciamis berdasarkan variabel-variabel penelitian.
1.7.5.1. Analisis Spasial
Eksplorasi sebaran wilayah kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001 menggunakan pendekatan analisis spasial yang mencakup pola spasial dan proses spasial. Pola spasial untuk menggambarkan sebaran kasus Malaria menurut waktu dan tempat, sedangkan proses spasial untuk menggambarkan determinan sebaran kasus Malaria.
Metode yang digunakan untuk menganalisis pola spasial dari sebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 adalah menggunakan peta time series (multi temporal) sebaran kasus Malaria yang dibuat berdasarkan data jumlah kasus Malaria per desa (agregasi desa). Peta time series sebaran kasus Malaria dibuat menurut data kasus Malaria untuk masing-masing tahun, di samping itu juga dibuat menurut data kumulatif kasus Malaria. Peta sebaran kasus Malaria dimaksud juga ditumpangsusunkan (overlay) dengan peta ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman.
Dengan melihat peta sebaran kasus Malaria dimaksud, dapat diketahui kecenderungan konsentrasi sebaran kasus Malaria, dan dapat diketahui pula kecenderungan pergerakan sebaran kasus Malaria. Di samping itu, dengan melihat pola spasial sebaran kasus Malaria maka dapat diketahui pula kemungkinan vektor Malaria yang dominan di wilayah tersebut.
Sementara itu, metode untuk menganalisis proses spasial atau gambaran tentang determinan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 adalah mengaitkan data sebaran kasus Malaria dengan beberapa komponen lingkungan yaitu faktor ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman berdasarkan hipotesis yang telah dibangun sebelumnya, untuk melihat wilayah-wilayah yang paling kondusif untuk hidup nyamuk Anopheles. Pembuktian hipotesis secara kualitatif yaitu meng-overlay-kan peta/data sebaran kasus Malaria dengan peta ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman. Sehingga secara kualitatif diketahui hubungan antara sebaran kasus Malaria dengan komponen lingkungan tersebut. Dengan demikian dapat diketahui wilayah-wilayah sebagai determinan persebaran kasus Malaria.
Untuk memperkuat pembuktian hipotesis secara kualitatif dilakukan pembuktian secara kuantitatif yaitu hipotesis dibuktikan dengan uji statistik. Uji statistik terhadap hubungan antara persebaran kasus Malaria dengan ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman akan diuraikan subbagian lain.
1.7.5.2. Analisis Hubungan
Analisis hubungan secara statistik antara persebaran kasus Malaria dengan ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman merupakan pembuktian hipotesis secara kuantitatif. Analisis hubungan (uji statistik) dimaksudkan untuk memperkuat pembuktian hipotesis secara kualitatif. Uji statistik yang dilakukan dalam analisis hubungan adalah uji korelasi dan analisis regresi.
Uji Normalitas Data. Sebelum melakukan analisis data, dilakukan diuji normalitas data dengan menggunakan normality plots dan formula Kolmogorov-Smirnov untuk menentukan apakah berdistribusi normal atau tidak. Pengambilan keputusan pada uji normalitas data menggunakan normality plots dengan melihat sebaran data di sekitar garis uji yang mengarah ke kanan atas. Bila sebaran data bergerombol di sekitar garis uji maka data berdistribusi normal dan sebaliknya bila sebarannya tidak bergerombol di sekitar garis uji maka data tidak berdistribusi normal. Selanjutnya dilihat hasil uji kenormalan Kolmogorov-Smirnov dengan membandingkan nilai p yang diperoleh dari setiap variabel dengan dengan nilai a (0,05). Bila nilai p > nilai a maka data tidak berdistribusi normal atau asumsi parametrik tidak terpenuhi dan sebaliknya bila nilai p < nilai a maka data berdistribusi normal atau asumsi parametrik terpenuhi.
Hasil uji normalitas data menunjukkan bahwa seluruh data dari variabel penelitian (kasus Malaria, ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman) berdistribusi normal atau memenuhi asumsi parametrik. Oleh karena itu, uji korelasi digunakan uji korelasi Pearson.
Uji Korelasi Pearson. Uji korelasi ini merupakan uji hubungan antara variabel numerik dengan variabel numerik bila distribusi data normal. Syarat uji korelasi Pearson adalah (1) kedua variabel minimal berjenis ordinal (diskret atau kontinyu) dan (2) variabel x dan y merupakan variabel independen. Namun untuk memudahkan dalam memperoleh hasil uji korelasi Pearson, analisis data dilakukan dengan menggunakan bantuan software SPSS for Windows. Hasil uji korelasi Pearson menggunakan software SPSS for Windows adalah nilai p (sig. 2 tiled) yang kemudian dibandingkan dengan nilai a sebesar 0,05. Bila nilai p < nilai a maka Ho ditolak yang berarti ada korelasi antara variabel x dan y, dan sebaliknya bila nilai p > nilai a maka Ho gagal ditolak yang berarti tidak ada korelasi antara variabel x dan y. Di samping itu, dari uji tersebut diperoleh pula nilai r (koefisien korelasi) atau besarnya/tingkat hubungan yang berkisar antara 0 – 1. Besarnya nilai r semakin mendekati nilai 1 maka tingkat hubungan semakin kuat, di mana menurut kriteria Colton 0 tidak ada hubungan, >0 – 0,25 hubungan lemah, 0,25 – 0,50 hubungan sedang, 0,50 – 0,75 hubungan kuat/baik, dan 0,75 – 1 hubungan sangat kuat / sempurna. Sedangkan tanda (+) atau (-) menunjukkan arah hubungan.
Analisis Regresi. Analisis regresi merupakan salah satu prosedur yang cukup penting dalam analisis statistik untuk menganalisis hubungan asosiasi antara sebuah variabel dependen (sebagai criterion) dengan satu atau lebih variabel independen (sebagai predictor). Analisis regresi digunakan untuk menentukan apakah variabel-variabel independen dapat menjelaskan suatu variasi kemaknaan dalam variabel dependen dalam suatu hubungan, berapa banyaknya variasi dalam variabel dependen yang dapat dijelaskan dengan variabel independen melalui kekuatan hubungan, dan menentukan struktur atau bentuk hubungan melalui persamaan matematika yang menghubungkan variabel-variabel independen dan dependen. Di samping itu, dapat menaksir nilai dari variabel dependen dan mengontrol variabel-variabel independen lainnya ketika menilai kontribusi dari suatu variabel atau kelompok variabel tertentu.
Oleh karena variabel independennya lebih dari satu maka dalam penelitian ini digunakan analisis regresi linier berganda. Sebagai variabel dependen (criterion) yaitu persebaran kasus Malaria (Y), sedangkan sebagai variabel-variabel independen (predictor) yaitu ketinggian (X1), jaringan sungai (X2), lahan basah (X3), permukiman (X4).
Koefisien b. Perhitungan koefisien b melalui uji kemaknaan dari setiap koefisien b dilakukan untuk mengetahui apakah nilai-nilai koefisien tersebut mempunyai pengaruh yang bermakna atau tidak sehingga dapat diambil langkah efektif dengan menambah atau mengurangi variabel-variabel independen yang digunakan untuk model regresi linier berganda yang dibuat.
Model Regresi. Model regresi merupakan persamaan garis regresi yang dibuat berdasarkan uji kemaknaan dari setiap koefisien b. Bentuk persamaan garis regresi linier berganda yang akan digunakan adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + … + bnXn
Sedangkan kemaknaan model regresi diuji dengan menggunakan hasil uji F (Anova) pada analisis regresi. Pengambilan keputusan pada uji kemaknaan model regresi dengan membandingkan nilai p (sig.) yang diperoleh dengan dengan nilai a (0,05). Bila nilai p > nilai a maka model regresi yang diperoleh secara statistik tidak bermakna atau tidak dapat digunakan dan sebaliknya bila nilai p < nilai a maka model regresi yang diperoleh secara statistik bermakna atau dapat digunakan.
Koefisien Korelasi dan Koefisien Determinasi. Koefisien korelasi (R) dalam analisis regresi merupakan ukuran yang menunjukkan besar hubungan antara variabel independen (predictor) dengan variabel dependen (criterion), dan juga menunjukkan bentuk/arah dari hubungan itu. Sementara itu, koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran yang menunjukkan besar sumbangan variabel independen terhadap variabel dependen. Dapat pula dikatakan merupakan ukuran yang menunjukkan variasi naik-turunnya variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh pengaruh variabel independen.
Uji Linieritas. Linieritas adalah keadaan di mana hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen bersifat linier (garis lurus) dalam range variabel independen tertentu. Uji linieritas digunakan untuk melihat apakah hubungan antara variabel terikat dan variabel bebas dalam kisaran variabel terikat tertentu, bersifat linier (garis lurus) atau tidak. Dalam penelitian ini, uji linieritas dilakukan dengan membuat scatter plot dan tambahan garis regresi. Oleh karena scatter plot hanya menampilkan hubungan dua variabel saja, maka jika terdapat lebih dari dua data, pengujian akan dilakukan dengan berpasangan tiap dua data. Pengambilan keputusan terdapat hubungan linier atau tidak tergantung pada garis regresi. Bila garis regresi mengarah ke kanan atas atau ke kanan bawah diinterpretasikan adanya linieritas pada hubungan dua variabel tersebut yang berarti semakin besar variabel X semakin besar atau semakin kecil variabel Y. Bila garis regresi datar diinterpretasikan tidak adanya linieritas pada hubungan dua variabel tersebut.
1.7.5.3. Analisis Wilayah Risiko Malaria
Manajemen pengendalian penyakit Malaria berbasis wilayah merupakan upaya tata laksana pengendalian penyakit dengan cara mengendalikan berbagai faktor risiko penyakit yang dilaksanakan secara simultan, paripurna, terencana, dan terintegrasi, yang dilaksanakan pada satu wilayah tertentu. Dalam rangka manajemen pengendalian penyakit berbasis wilayah, dilakukan peramalan wilayah risiko penyakit untuk memperkirakan perjangkitan di masa datang agar penanggulangannya dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien.
Demikian pula dalam rangka manajemen pengendalian penyakit Malaria berbasis wilayah, pada analissi ini dilakukan peramalan wilayah risiko Malaria dengan mengidentifikasi wilayah-wilayah risiko Malaria berdasarkan karakteristik lingkungan tertentu yaitu wilayah habitat atau tempat hidup nyamuk Anopheles dan juga berdasarkan wilayah di mana telah terjadi kasus Malaria.
Wilayah risiko Malaria merupakan wilayah di mana telah terjadi kasus Malaria pada wilayah yang berpotensi atau rawan terjadinya Malaria. Sementara itu, wilayah rawan merupakan wilayah dengan karakteristik lingkungan tertentu yang berpotensi menjadi lokasi kontak antara vektor Malaria dengan manusia. Wilayah dengan karakteristik lingkungan tertentu yang berpotensi menjadi lokasi kontak antara vektor Malaria dengan manusia dimaksud merupakan wilayah habitat atau tempat hidup nyamuk Anopheles sebagai host definitive yang juga merupakan wilayah permukiman atau wilayah dekat dengan permukiman yang menjadi tempat hidup manusia. Dalam analisis ini, karakteristik lingkungan tertentu dimaksud adalah faktor ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman. Dengan demikian wilayah rawan Malaria ditentukan berdasarkan variabel ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman, yaitu melihat kaitan antara variabel tersebut dengan persebaran kasus Malaria.
Metode yang digunakan untuk menentukan wilayah risiko Malaria di Kabupaten Ciamis adalah pemodelan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). Pertama, menentukan wilayah berpotensi (rawan) terjadinya Malaria yaitu dengan melakukan klasifikasi wilayah berdasarkan faktor lingkungan yaitu habitat atau karakteristik ekologis dan perilaku nyamuk Anopheles sebagai host definitive dan berdasarkan faktor manusia sebagai host intermediate. Faktor-faktor dimaksud adalah faktor ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman. Kedua, menentukan wilayah risiko terjadinya Malaria yaitu dengan memasukkan faktor kasus Malaria berdasarkan wilayah rawan yang telah dibuat.
Wilayah rawan Malaria berdasarkan variabel ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman dimaksud ditentukan dengan melihat kaitan antar variabel atau faktor yang berhubungan dengan persebaran kasus Malaria, yang ditentukan berdasarkan hasil uji hipotesis secara statistik terhadap variabel-variabel itu apakah secara statistik variabel-variabel dimaksud benar-benar berhubungan atau tidak dan berapa besar hubungan dari variabel-variabel tersebut.
Berdasarkan hasil uji korelasi antara variabel ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman variabel dengan persebaran kasus Malaria tersebut, wilayah rawan Malaria ditentukan menurut klasifikasi wilayah tertentu yaitu interval ketinggian untuk variabel ketinggian dan interval jarak untuk variabel jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman. Sedangkan besarnya tingkat kerawanan ditentukan dengan pembobotan pada setiap klas wilayah. Nilai bobot kerawanan wilayah dihitung dengan mempertimbangkan: pertama, wilayah habitat dan jangkauan terbang nyamuk Anopheles, dan kedua, menurut besarnya nilai r (koefisien korelasi) yang diperoleh dari uji korelasi tersebut. Nilai bobot kerawanan dimaksud merupakan perkalikan antara nilai bobot berdasarkan wilayah habitat dan jangkauan terbang nyamuk Anopheles dengan nilai bobot berdasarkan besarnya nilai r yang diperoleh dari uji korelasi dari masing variabel. Hasil perkalian antara bobot klas dengan nilai r tersebut kemudian diindeks agar menghasilkan suatu nilai yang besarnya antara 0 – 1, sehingga dapat menggambarkan tingkat kerawanan Malaria suatu wilayah.
Nilai bobot wilayah yang ditentukan berdasarkan wilayah habitat dan jangkauan terbang nyamuk Anopheles digunakan untuk membedakan klas bobot dalam variabel, yang mana setiap variabel dibagi dalam 4 klas dengan nilai 1, 2, 3, atau 4. Wilayah yang paling optimum sebagai habitat nyamuk Anopheles dimasukkan dalam klas bobot 4 dan sebaliknya wilayah yang bukan habitat atau semakin jauh dari jangkauan terbang nyamuk Anopheles dimasukkan dalam klas bobot 1. Sedangkan nilai bobot wilayah yang ditentukan berdasarkan besarnya nilai r yang diperoleh dari uji korelasi dari masing-masing variabel tersebut digunakan untuk membedakan klas bobot antar variabel, karena besarnya hubungan masing-masing variabel tersebut tidak sama maka tingkat kerawanannya.
Klasifikasi wilayah ketinggian ditentukan dengan pertimbangan bahwa semakin tinggi lokasi maka suhu udara semakin rendah, yang berarti semakin tinggi lokasi maka risiko terjadinya Malaria semakin rendah. Oleh karena itu wilayah yang terendah dimaksukkan dalam klas dengan nilai bobot yang paling tinggi dan semakin tinggi lokasi tersebut maka dimasukkan dalam klas dengan nilai bobot yang lebih rendah. Selanjutnya nilai bobot masing-masing klas variabel ketinggian tersebut dikalikan dengan nilai nilai r yang diperoleh dari uji korelasi antara variabel ketinggian dengan persebaran kasus Malaria.
Sedangkan klasifikasi wilayah untuk variabel jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman ditentukan berdasarkan jarak dari jaringan sungai dan lahan basah sebagai tempat perindukan dan tempat istirahat nyamuk Anopheles dan dari permukiman yang mewakili penduduk sebagai host menurut jangkauan terbang nyamuk Anopheles. Ini berarti bahwa semakin jauh dari wilayah jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman maka risiko terjadinya Malaria semakin rendah. Oleh karena itu wilayah jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman diberi nilai bobot yang paling tinggi dan semakin jauh dari wilayah tersebut maka dimasukkan dalam klas dengan nilai bobot yang lebih rendah. Selanjutnya nilai bobot masing-masing klas variabel jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman tersebut dikalikan dengan nilai r variabel jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman yang diperoleh dari uji korelasi antara variabel masing-masing variabel tersebut dengan persebaran kasus Malaria.
Klasifikasi wilayah rawan Malaria dimaksud dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Klasifikasi Wilayah Rawan Malaria
Variabel
Klasifikasi Wilayah
Bobot
Ketinggian
0-100 meter dpl
4 x nilai r variabel ketinggian
101-500 meter dpl
3 x nilai r variabel ketinggian
501-1.000 meter dpl
2 x nilai r variabel ketinggian
> 1.000 meter dpl
1 x nilai r variabel ketinggian
Jaringan Sungai
Jaringan sungai (termasuk buffer 10m)
4 x nilai r variabel jaringan sungai
< 200 meter dari jaringan sungai
3 x nilai r variabel jaringan sungai
201-500 meter dari jaringan sungai
2 x nilai r variabel jaringan sungai
> 500 meter dari jaringan sungai
1 x nilai r variabel jaringan sungai
Lahan Basah
Lahan basah
4 x nilai r variabel lahan basah
< 200 meter dari lahan basah
3 x nilai r variabel lahan basah
201-500 meter dari lahan basah
2 x nilai r variabel lahan basah
> 500 meter dari lahan basah
1 x nilai r variabel lahan basah
Permukiman
Permukiman
4 x nilai r variabel permukiman
< 200 meter dari permukiman
3 x nilai r variabel permukiman
201-500 meter dari permukiman
2 x nilai r variabel permukiman
> 500 meter dari permukiman
1 x nilai r variabel permukiman
Sebagaimana disebut di atas, tingkat kerawanan Malaria suatu wilayah digambarkan melalui nilai indeks kerawanan yang besarnya antara 0 – 1. Interpretasi dari nilai indeks kerawanan tersebut adalah bilamana nilai indeks kerawanan suatu wilayah semakin mendekati nilai 1 maka tingkat kerawanannya semakin tinggi dan sebaliknya bilamana nilai indeks kerawanan suatu wilayah semakin mendekati nilai 0 maka tingkat kerawanannya semakin rendah. Nilai ini akan dikelompokkan untuk memudahkan dalam penyajian peta dan memudahkan interpretasi data.
Selanjutnya penentuan wilayah risiko Malaria, di mana wilayah ini ditentukan berdasarkan wilayah rawan yang telah dibuat dengan memasukkan faktor kasus Malaria. Yaitu menambahkan nilai kerawanan dengan nilai bobot kasus yang besarnya dihitung berdasarkan jumlah kasus Malaria yang terjadi di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001. Hasil penjumlahan nilai kerawanan dengan nilai bobot kasus tersebut kemudian diindeks agar menghasilkan suatu nilai yang besarnya antara 0 – 1, sehingga dapat menggambarkan tingkat risiko Malaria suatu wilayah. Interpretasi dari nilai indeks risiko tersebut adalah bilamana nilai risiko suatu wilayah semakin mendekati nilai 1 maka risikonya semakin tinggi dan sebaliknya bilamana nilai risiko suatu wilayah semakin mendekati nilai 0 maka risikonya semakin rendah.
Gambar 4
Model Penentuan Wilayah Risiko Persebaran Kasus Malaria
2. GAMBARAN UMUM KABUPATEN CIAMIS
2.1. Kondisi Fisik
2.1.1. Letak dan Luas Kabupaten Ciamis
Kabupaten Ciamis yang merupakan salah satu kabupaten yang terletak di bagian Selatan Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Ciamis terletak antara 108o10’ – 108o48’ Bujur Timur dan 7o3’ – 7o50’ Lintang Selatan. Di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Tasikmalaya dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah (BPS Kabupaten Ciamis, 2003). Gambaran administrasi Kabupaten Ciamis disajikan pada Peta 1.
Luas Kabupaten Ciamis adalah 2.556,75 Km2 yang terdiri dari lahan kering seluas 85.480 Ha dan lahan persawahan seluas 54.739 Ha. Kabupaten Ciamis terbagi dalam 34 kecamatan dengan 361 desa (Dinkes Kabupaten Ciamis, 2002).
Bagian selatan Kabupaten Ciamis berbatasan langsung dengan garis pantai Samudera Indonesia yang membentang di 6 kecamatan dengan panjang garis pantai mencapai 91 Km, yaitu di Kecamatan Cimerak 23,5 Km, Kecamatan Cijulang 16 Km, Kecamatan Parigi 10 Km, Kecamatan Sidamulih 4 Km, Kecamatan Pangandaran 22,5 Km, dan Kecamatan Kalipucang 15 Km. Dengan adanya garis pantai tersebut, maka Kabupaten Ciamis memiliki wilayah pesisir seluas 67.340 Ha yang berada di 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Cimerak 17.390 Ha, Kecamatan Cijulang 11.840 Ha, Kecamatan Parigi 7.400 Ha, Kecamatan Sidamulih 6.290 Ha, Kecamatan Pangandaran 13.320 Ha, dan Kecamatan Kalipucang 11.100 Ha (BPS Kabupaten Ciamis, 2003).
2.1.2. Morfologi
Kabupaten Ciamis berada pada ketinggian antara 0 sampai dengan kira-kira 1.000 meter di atas permukaan laut, memiliki topografi yang bervariasi. Kabupaten Ciamis secara garis besar dibagi dalam 3 bagian yaitu bagian utara merupakan wilayah pegunungan, bagian tengah merupakan dataran rendah, dan bagian selatan merupakan wilayah berbukit-bukit dan pantai dengan banyak lagun (Dinkes Kabupaten Ciamis, 2002).
Bila dilihat ketinggian lokasi menurut kecamatan, kecamatan dengan rata-rata ketinggian lokasi yang rendah di antaranya Kecamatan Langensari sebesar 28,66 meter dpl, Lakbok sebesar 32,57 meter dpl, Cijulang sebesar 71,97 meter dpl, Cimerak sebesar 76,50 meter dpl, Banjar sebesar 77,19 meter dpl, Purwaharja sebesar 79,11 meter dpl, dan Pataruman sebesar 85,20 meter dpl, sedangkan kecamatan dengan rata-rata ketinggian lokasi yang tinggi di antaranya Kecamatan Panjalu sebesar 628,64 meter dpl, Panawangan sebesar 622,17 meter dpl, Panumbangan sebesar 589,90 meter dpl, Cikoneng sebesar 579,15 meter dpl, Kawali sebesar 578,93 meter dpl, dan Cihaurbeuti sebesar 541,47 meter dpl. Selanjutnya berikut ini dapat dilihat data rata-rata ketinggian lokasi untuk kecamatan-kecamatan dengan Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis.
Tabel 2
Ketinggian Minimum, Ketinggian Maksimum, dan Rata-rata Ketinggian Lokasi
di Kecamatan-Kecamatan dengan Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis
Kecamatan
Ketinggian Minimum (m dpl)
Ketinggian Maksimum (m dpl)
Rata-rata Ketinggian (m dpl)
Sidamulih
0,00
675,00
311,46
Cijulang
0,00
162,50
71,97
LangkapLancar
75,00
987,50
375,87
Cimerak
0,00
237,50
76,50
Kalipucang
0,00
450,00
109,82
Parigi
0,00
562,50
142,64
Padaherang
6,25
562,50
167,01
Pangandaran
0,00
550,00
167,73
Sumber: Diolah dari Peta Rupa Bumi Bakosurtanal
Sedangkan ketinggian minimum, ketinggian maksimum, dan rata-rata ketinggian lokasi menurut kecamatan di Kabupaten Ciamis secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.
2.1.3. Jaringan Sungai
Dengan topografi yang demikian, Kabupaten Ciamis banyak dialiri sungai baik kecil maupun besar yang mengalir dari bagian utara ke selatan. Dengan total panjang seluruh jaringan sungai di Kabupaten Ciamis lebih kurang sepanjang 9.976,14 Km dan luas Kabupaten Ciamis sebesar 2.557,1 Km2 maka kerapatan jaringan sungai di Kabupaten Ciamis kira-kira sebesar 3,9 Km/Km2.
Bila dilihat kerapatan jaringan sungai menurut kecamatan, kecamatan dengan kerapatan jaringan sungai tertinggi adalah di Kecamatan Ciamis sebesar 10,19 Km/Km2, Cimaragas sebesar 7,47 Km/Km2, Kawali sebesar 6,97 Km/Km2, Cikoneng sebesar 6,78 Km/Km2, Cipaku sebesar 6,75 Km/Km2, Cisaga sebesar 6,62 Km/Km2, Cijeungjing sebesar 6,54 Km/Km2, sedangkan kerapatan jaringan sungai terendah adalah di Kecamatan Kalipucang sebesar 1,61 Km/Km2, Langensari sebesar 1,68 Km/Km2, Panjalu sebesar 2,01 Km/Km2, Tambaksari sebesar 2,23 Km/Km2, Rajadesa sebesar 2,40 Km/Km2, Cidolog sebesar 2,51 Km/Km2, Parigi sebesar 2,85 Km/Km2. Selanjutnya berikut ini dapat dilihat data kerapatan jaringan sungai untuk kecamatan-kecamatan dengan Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis.
Tabel 3
Luas Kecamatan, Panjang Jaringan Sungai, dan Kerapatan Jaringan Sungai
di Kecamatan-Kecamatan dengan Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis
Kecamatan
Luas Kecamatan (Km2)
Panjang Jaringan Sungai (Km)
Kerapatan Jaringan Sungai (Km/Km2)
Sidamulih
73,85
390,65
5,29
Cijulang
93,16
298,04
3,20
LangkapLancar
177,19
603,47
3,41
Cimerak
118,18
398,64
3,37
Kalipucang
136,78
220,05
1,61
Parigi
96,04
274,05
2,85
Padaherang
151,53
480,89
3,17
Pangandaran
64,90
204,27
3,15
Sumber: Diolah dari Peta Rupa Bumi Bakosurtanal
Sedangkan luas wilayah, panjang jaringan sungai, dan kerapatan jaringan sungai menurut kecamatan di Kabupaten Ciamis secara lengkap disajikan pada Lampiran 5.
Sebagian sungai-sungai tersebut dimanfaatkan untuk mengairi sawah. Rincian luas lahan sawah menurut jenis pengairan adalah sebagai berikut: irigasi teknis 17.020 Ha, irigasi setengah teknis 2.949 Ha, irigasi sederhana 21.759 Ha, irigasi tadah hujan 9.808 Ha, dan irigasi rawa 152 Ha (BPS Kabupaten Ciamis, 2003).
2.1.4. Penggunaan Tanah
Penggunaan tanah di Kabupaten Ciamis mencakup pekarangan/tanah untuk bangunan dan halaman sekitarnya seluas 29.926 Ha, tegalan/kebun/ ladang/huma seluas 76.676 Ha, pengembalaan padang rumput seluas 1.777 Ha, hutan rakyat seluas 18.793 Ha, hutan negara seluas 37.348 Ha, perkebunan seluas 16.188 Ha, rawa yang ditanami seluas 10 Ha, tambak seluas 43 Ha, kolam/tebet/empang seluas 2.716 Ha, dan lain-lain seluas 9.242 Ha (BPS Kabupaten Ciamis, 2003).
Dari 2.556,75 Km2 luas Kabupaten Ciamis, 24,24% di antaranya adalah wilayah lahan basah yang terdiri atas persawahan, danau, situ, rawa, telaga, atau lahan basah lainnya. Kecamatan dengan persentase luas wilayah lahan basah tertinggi adalah di Kecamatan Lakbok yaitu sebesar 72,94%, Cikoneng sebesar 66,03%, Langensari sebesar 57,36%, Padaherang sebesar 37,33%, dan Banjarsari sebesar 37,13%, sedangkan kecamatan dengan persentase luas wilayah lahan basah terendah adalah di Kecamatan Purwaharja yaitu sebesar 1,38%, Cisaga sebesar 3,10%, Cidolog sebesar 3,46%, Sukadana sebesar 6,19%, dan Kalipucang sebesar 7,03%. Selanjutnya berikut ini dapat dilihat data persentase luas wilayah lahan basah untuk kecamatan-kecamatan dengan Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis.
Tabel 4
Luas Kecamatan, Luas Lahan Basah, dan Persentase Luas Lahan Basah
di Kecamatan-Kecamatan dengan Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis
Kecamatan
Luas Kecamatan (Km2)
Luas Lahan Basah (Km2)
% Luas Lahan Basah
Sidamulih
73,85
24,20
32,77
Cijulang
93,16
24,66
26,48
LangkapLancar
177,19
21,82
12,31
Cimerak
118,18
16,55
14,00
Kalipucang
136,78
9,61
7,03
Parigi
96,04
16,70
17,39
Padaherang
151,53
56,57
37,33
Pangandaran
64,90
18,49
28,48
Sumber: Diolah dari Peta Rupa Bumi Bakosurtanal
Sedangkan luas wilayah, luas wilayah lahan basah, dan persentase luas wilayah lahan menurut kecamatan di Kabupaten Ciamis secara lengkap disajikan pada Lampiran 7.
Sementara itu, luas wilayah permukiman di Kabupaten Ciamis adalah 8,18% dari total luas Kabupaten Ciamis. Bila dilihat persentase luas wilayah permukiman menurut kecamatan, kecamatan dengan persentase luas wilayah permukiman tertinggi adalah di Kecamatan Banjar yaitu sebesar 40,68%, Pangandaran sebesar 19,04%, Langensari sebesar 18,31%, dan Kawali sebesar 14,21%, sedangkan kecamatan dengan persentase luas wilayah permukiman terendah adalah di Kecamatan Cidolog yaitu sebesar 1,10%, Tambaksari sebesar 2,72%, Kalipucang sebesar 3,32%, Langkaplancar sebesar 3,55%, dan Panjalu sebesar 3,59%. Selanjutnya berikut ini dapat dilihat data persentase luas wilayah permukiman untuk kecamatan-kecamatan dengan Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis.
Tabel 5
Luas Kecamatan, Luas Permukiman, dan Persentase Luas Permukiman
di Kecamatan-Kecamatan dengan Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis
Kecamatan
Luas Kecamatan (Km2)
Luas Permukiman (Km2)
% Luas Permukiman
Sidamulih
73,85
6,58
8,91
Cijulang
93,16
5,30
5,68
LangkapLancar
177,19
6,30
3,55
Cimerak
118,18
5,03
4,25
Kalipucang
136,78
4,54
3,32
Parigi
96,04
8,69
9,05
Padaherang
151,53
9,89
6,52
Pangandaran
64,90
12,36
19,04
Sumber: Diolah dari Peta Rupa Bumi Bakosurtanal
Sedangkan luas wilayah, luas wilayah permukiman, dan persentase luas wilayah permukiman menurut kecamatan di Kabupaten Ciamis secara lengkap disajikan pada Lampiran 8.
2.2. Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Ciamis sebanyak 1.538.693 jiwa pada tahun 1997 dan 1.548.524 jiwa pada tahun 1998 meningkat menjadi 1.594.546 jiwa pada tahun 1999 dan 1.618.752 jiwa pada tahun 2000 dan meningkat lagi menjadi 1.630.895 jiwa pada tahun 2001 (Dinkes Provinsi Jawa Barat, 1998, 1999, 2000, 2001, dan 2002). Jumlah penduduk Kabupaten Ciamis per kecamatan tahun 1997 – 2001 disajikan pada Lampiran 10 – Lampiran 14.
Dengan luas daerah sebesar 2.556,75 Km2 berarti bahwa pada tahun 1997 Kabupaten Ciamis mempunyai kepadatan penduduk sebesar 601 per Km2, pada tahun 1998 sebesar 605,10 per Km2, pada tahun 1999 sebesar 623,09 per Km2 pada tahun 2000 sebesar 632,55 per Km2, dan pada tahun 2001 sebesar 637 per Km2 (Dinkes Provinsi Jawa Barat, 1998, 1999, 2000, 2001, dan 2002).
Sementara itu, dari 34 kecamatan di Kabupaten Ciamis, kasus Malaria hanya terjadi di 8 wilayah kecamatan atau wilayah kerja Puskesmas yaitu kecamatan Cimerak (Puskesmas Legokjawa), Cijulang (Puskesmas Cijulang), Parigi (Puskesmas Parigi), Sidamulih (Puskesmas Cikembulan), Pangandaran (Puskesmas Pangandaran), Kalipucang (Puskesmas Kalipucang), Padaherang (Puskesmas Padaherang), dan Langkaplancar (Puskesmas Langkaplancar). Berikut ini jumlah penduduk yang tinggal di desa-desa dengan kasus Malaria di 8 kecamatan atau wilayah kerja Puskesmas tersebut.
Tabel 6
Jumlah Penduduk yang Tinggal di Desa-Desa dengan Kasus Malaria Menurut Kecamatan di Ciamis Tahun 1997 – 2001
Kecamatan
Jumlah Penduduk
1997
1998
1999
2000
2001
Sidamulih
14.757
14.674
14.622
14.622
14.622
Cijulang
19.466
19.493
19.500
19.500
16.680
LangkapLancar
12.690
11.128
11.191
11.191
11.191
Cimerak
3.530
3.516
3.589
3.589
3.589
Kalipucang
29.867
29.982
30.037
30.037
30.959
Parigi
21.178
21.201
21.209
21.109
21.227
Padaherang
16.976
16.971
16.949
16.949
16.959
Pangandaran
42.418
42.322
42.367
42.367
43.957
Jumlah
160.882
159.287
159.464
159.364
159.184
Sumber: Dinkes Kabupaten Ciamis, 2002
2.3. Situasi Malaria
Di Indonesia, selama periode 1995 – 2000 telah terjadi peningkatan insidens Malaria, walapun pada periode 2001 – 2003 terjadi penurunan kembali. Insidens Malaria di Jawa dan Bali (annual parasite incidence / API) sebesar 0,07 per 1.000 penduduk pada tahun 1995 meningkat tajam menjadi 0,81 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 dan kemudian turun kembali menjadi 0,22 per 1.000 penduduk pada tahun 2003. Demikian pula insidens Malaria di Luar Jawa dan Bali (annual malaria incidence / AMI) sebesar 19,38 per 1.000 penduduk meningkat menjadi 31,1 per 1.000 penduduk pada tahun 2000 dan kemudian turun kembali menjadi 21,8 per 1.000 penduduk pada tahun 2003 (Depkes, 2005). Berikut ini disajikan grafik perkembangan angka kesakitan Malaria di Indonesia pada tahun 1995 – 2003.
Gambar 5
Annual Parasite Incidence of Malaria (API)
dan Annual Malaria Incidence (AMI)
di Indonesia Tahun 1995-2003
Sumber: Profil Kesehatan Indonesia 2003 (Depkes, 2005)
Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kabupaten endemik Malaria. Menurut laporan Depkes, pada tahun 1997 – 2001 angka kesakitan Malaria (API) di Kabupaten Ciamis cenderung meningkat yaitu dari 0,39 per 1.000 penduduk pada tahun 1997 meningkat menjadi 1,54 per 1.000 penduduk pada tahun 2001. Berikut ini disajikan tabel situasi Malaria di Jawa Barat pada tahun 1997 – 2001.
Tabel 7
Situasi Malaria (API) di Jawa Barat, Tahun 1997 – 2001
Kabupaten
API (‰)
1997
1998
1999
2000
2001
Serang
0,00
0,00
0,01
0,01
-
Pandeglang
0,78
0,76
0,09
0,24
-
Lebak
0,40
0,25
0,50
0,56
-
Sukabumi
0,08
0,06
0,18
0,29
0,89
Cianjur
0,00
0,00
0,16
0,28
0,02
Garut
0,10
0,02
0,12
0,28
0,34
Tasik Malaya
0,68
0,92
1,86
1,12
0,18
Ciamis
0,39
0,83
2,1
2,53
1,54
Sumber: Ditjen PPMPL, Depkes
Kecenderungan peningkatan angka kesakitan Malaria (API) di Kabupaten Ciamis selama tahun 1997 – 2001 tersebut, dapat digunakan untuk mengestimasikan seberapa besar nilai API pada tahun-tahun berikutnya. Salah satu metode yang dapat digunakan mengestimasi nilai kecenderungan adalah persamaan trend kuadrat minimal. Metode persamaan trend kuadrat minimal ini akan menghasilkan garis trend yang dapat diekstrapolasi. Dengan menggunakan tahun dasar 1999 dengan nilai trend sebesar 1,48 per 1.000 penduduk dan skala 1 tahun dapat diestimasikan nilai kecenderungan API untuk tahun 2002 sebesar 2,68 per 1.000 penduduk. Kecenderungan peningkatan angka kesakitan Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 dan estimasi angka kesakitan Malaria pada tahun 2002 disajikan pada gambar berikut ini.
Gambar 6
Kecenderungan Angka Kesakitan Malaria (API)
di Kabupaten Ciamis, Tahun 1997 – 2001
Dari 34 kecamatan di Kabupaten Ciamis, selama tahun 1997 – 2001 kasus Malaria hanya terjadi di 8 wilayah kecamatan atau wilayah kerja Puskesmas yaitu kecamatan Cimerak (Puskesmas Legokjawa) sebanyak 2 kasus, Cijulang (Puskesmas Cijulang) sebanyak 27 kasus, Parigi (Puskesmas Parigi) sebanyak 76 kasus, Sidamulih (Puskesmas Cikembulan) sebanyak 143 kasus, Pangandaran (Puskesmas Pangandaran) sebanyak 403 kasus, Kalipucang (Puskesmas Kalipucang) sebanyak 424 kasus, Padaherang (Puskesmas Padaherang) sebanyak 10 kasus, dan Langkaplancar (Puskesmas Langkaplancar) sebanyak 93 kasus. Rincian jumlah kasus positif Malaria dan angka kesakitan Malaria (API) menurut kecamatan di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Jumlah Kasus Positif Malaria dan Angka Kesakitan Malaria (API)
Menurut Kecamatan di Kabupaten Ciamis, Tahun 1997 – 2001
Kecamatan
1997
1998
1999
2000
2001
Positif
API o/oo
Positif
API o/oo
Positif
API o/oo
Positif
API o/oo
Positif
API o/oo
Sidamulih
5
0,34
2
0,14
33
2,26
79
5,40
24
1,64
Cijulang
6
0,31
3
0,15
4
0,21
12
0,62
2
0,12
LangkapLancar
36
2,84
1
0,09
37
3,31
19
1,70
0
0
Cimerak
0
0
0
0
1
0,28
1
0,28
0
0
Kalipucang
0
0
25
0,83
98
3,26
134
4,46
167
5,39
Parigi
10
0,47
7
0,33
15
0,71
35
1,66
9
0,42
Padaherang
0
0
0
0
1
0,06
7
0,41
2
0,12
Pangandaran
6
0,14
94
2,22
146
3,45
116
2,74
41
0,93
Jumlah
63
0,39
132
0,83
335
2,10
403
2,53
245
1,54
Sumber: Subdit Malaria, Dit P2B2, Ditjen PPPL Depkes

Bila dilihat menurut desa, jumlah kasus Malaria dan jumlah desa terjangkit di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001 cenderung meningkat, yaitu dari 83 kasus yang tersebar di 14 desa pada tahun 1997 dan 134 kasus yang tersebar di 16 desa pada tahun 1998 menjadi 337 kasus yang tersebar di 34 desa dan 411 kasus yang tersebar di 35 desa, walaupun pada tahun 2001 menurun menjadi 237 kasus yang tersebar di 24 desa. Jumlah kasus Malaria positif menurut desa dapat dilihat pada Lampiran 1, sedangkan angka insiden Malaria menurut desa dapat dilihat pada Lampiran 3.
2.4. Nyamuk Vektor Malaria
Penularan Malaria disebabkan oleh nyamuk betina dari tribus Anopheles. Sampai saat ini, dari sekitar 400 spesies nyamuk Anopheles yang telah ditemukan 67 species di antaranya dapat menularkan Malaria, dan 24 di antaranya ditemukan di Indonesia.
Oleh karena karakteristik bioekologi nyamuk Anopheles sangat tergantung dengan kondisi lingkungannya, penularan Malaria di suatu wilayah tertentu belum tentu sama dengan wilayah lainnya. Menurut Dinkes Kabupaten Ciamis (2002), seluruh kasus Malaria di Kabupaten Ciamis ditularkan oleh 2 vektor nyamuk yaitu Anopheles sundaicus dan Anopheles aconitus.
An. aconitus umumnya memilih tempat perindukan dan tempat istirahat di persawahan atau kali/sungai kecil atau saluran air lainnya pada wilayah dataran rendah, kaki bukit, atau lembah. Wilayah yang demikian terdapat di bagian selatan dan tengah Kabupaten Ciamis. Sedangkan An. sundaicus umumnya memilih tempat perindukan dan tempat istirahat di wilayah pesisir yang banyak ditumbuhi hutan mangrove dan nipah atau pada lagoon atau tambak. Wilayah yang demikian terdapat di pesisir selatan Kabupaten Ciamis (Depkes, 2004).
2.5. Sarana dan Tenaga Kesehatan
Ketersediaan sarana dan tenaga kesehatan merupakan hal penting untuk meningkatkan keterjangkauan masyarakat pada pelayanan kesehatan. Pada tahun 2001, jumlah sarana kesehatan di Kabupaten Ciamis terdiri atas 2 rumah sakit umum, 41 Puskesmas, 113 Puskesmas Pembantu, 38 Puskesmas Keliling, 48 balai pengobatan swasta, 4 rumah bersalin, 5 balai kesehatan ibu dan anak, 1 gudang farmasi, 29 apotik, 3 laboratorium klinik, 261 toko obat berijin, dan 2.016 Posyandu. Sedangkan penyediaan tenaga kesehatan meliputi 103 tenaga medis/dokter, 547 perawat, 378 bidan, 25 tenaga farmasi, 40 ahli gizi, 87 teknisi medis, 60 sanitasi, dan 14 tenaga kesehatan masyarakat (Dinkes Kabupaten Ciamis, 2002).
Sementara itu, dalam rangka pelaksanaan program pencegahan dan pemberantasan penyakit Malaria di Kabupaten Ciamis, pemerintah telah menyediakan tenaga untuk mengelola program tersebut. Berikut ini disajikan jumlah tenaga pengelola program tersebut.
Tabel 9
Jumlah dan Jenis Tenaga Pengelola Program Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 2001

Jenis Jabatan/Tenaga
Jumlah (orang)
Jenis Jabatan/Tenaga
Jumlah (orang)
Kepala Seksi P2M
1
JMD: - Organik (PNS)
- Non Organik (harian)
22
20
Assisten Entomologis
1
Co. Ass. Entomologis
8
Kepala UPM
8
Mikroskopis
3
Kolektor
64
Mikroskopis Puskesmas
56
Regu Penyemprot
4
Sumber: Dinkes Kabupaten Ciamis
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Sebaran Kasus Malaria
Jumlah kasus Malaria dan jumlah desa terjangkit di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001 cenderung meningkat. Pada tahun 1997, terjadi 83 kasus Malaria yang tersebar di 14 desa pada 5 kecamatan yaitu Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran, dan Langkaplancar. Dari 14 desa yang terjangkit Malaria tersebut 10 desa di antaranya berada di sepanjang pesisir selatan, selebihnya tidak berbatasan langsung dengan pesisir namun demikian masih cukup dekat. Bila dilihat menurut angka insiden Malaria (annual parasite incidence / API) pada tahun 1997, dari 14 desa yang terjangkit terdapat 2 desa dengan nilai API sebesar >2,5 per 1.000 penduduk, 1 desa dengan nilai 1-2,5 per 1.000 penduduk, dan selebihnya (11 desa) dengan nilai API >1 per 1.000 penduduk. Persebaran Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1997 dapat dilihat pada Peta 2.
Pada tahun 1998, terjadi 134 kasus Malaria yang tersebar di 16 desa pada 6 kecamatan yaitu Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran, Kalipucang, dan Langkaplancar. Dari 16 desa yang terjangkit Malaria tersebut sebagian besar (12 desa) juga merupakan desa-desa pesisir. Dari 16 desa yang terjangkit tersebut, 3 desa di antaranya dengan nilai API sebesar >2,5 per 1.000 penduduk, 2 desa dengan nilai 1-2,5 per 1.000 penduduk, dan selebihnya (11 desa) dengan nilai API >1 per 1.000 penduduk. Persebaran Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1998 dapat dilihat pada Peta 3.
Pada tahun 1999, terjadi 337 kasus Malaria yang tersebar di 34 desa pada 8 kecamatan yaitu Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran, Kalipucang, Padaherang, dan Langkaplancar, di mana sebagian besar kasus terkonsentrasi di pesisir selatan Kabupaten Ciamis. Dari 34 desa yang terjangkit tersebut, 7 desa di antaranya dengan nilai API sebesar >2,5 per 1.000 penduduk, 8 desa dengan nilai 1-2,5 per 1.000 penduduk, dan selebihnya (19 desa) dengan nilai API >1 per 1.000 penduduk. Persebaran Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1999 dapat dilihat pada Peta 4.
Pada tahun 2000, terjadi 411 kasus Malaria yang tersebar di 35 desa pada 8 kecamatan yang sama. Jumlah kasus Malaria pada tahun 2000 tersebut merupakan puncak, di mana persebarannya juga terkonsentrasi di wilayah pesisir selatan. Dari 35 desa yang terjangkit tersebut, 9 desa di antaranya dengan nilai API sebesar >2,5 per 1.000 penduduk, 8 desa dengan nilai 1-2,5 per 1.000 penduduk, dan selebihnya (18 desa) dengan nilai API >1 per 1.000 penduduk. Persebaran Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 2000 dapat dilihat pada Peta 5.
Pada tahun 2001, terjadi 237 kasus Malaria yang tersebar di 24 desa pada 6 kecamatan. Pada tahun itu jumlah kasus sudah cenderung turun, namun penyebarannya masih terkonsentrasi di pesisir selatan. Dari 24 desa yang terjangkit tersebut, 5 desa di antaranya dengan nilai API sebesar >2,5 per 1.000 penduduk, 5 desa dengan nilai 1-2,5 per 1.000 penduduk, dan selebihnya (14 desa) dengan nilai API >1 per 1.000 penduduk. Persebaran Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 2001 dapat dilihat pada Peta 6.
Peta 7 dan Peta 8 menunjukkan bahwa sebaran kasus Malaria pada tahun 1997 – 2001 hanya terkonsentrasi di beberapa desa saja, untuk Kecamatan Cimerak terjadi di 1 desa, untuk Kecamatan Cijulang terjadi di 5 desa, untuk Kecamatan Parigi terjadi di 5 desa, untuk Kecamatan Sidamulih terjadi di 4 desa, untuk Kecamatan Pangandaran terjadi di 5 desa, untuk Kecamatan Kalipucang terjadi di 8 desa, untuk Kecamatan Padaherang terjadi di 3 desa, dan untuk Kecamatan Langkaplancar terjadi di 9 desa.
Walaupun hanya terkonsentrasi di beberapa desa saja, namun bila kita perhatikan sebaran kasus Malaria tahun 1997 – 2001 pada Peta 9 (time series) atau Peta 2 sampai dengan Peta 6 cenderung bergerak dari barat ke timur yaitu dari Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, dan Langkap Lancar bergerak ke Kecamatan Sidamulih, Pangandaran, Kalipucang, dan Padaherang.
Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 pada umumnya tersebar di wilayah pada ketinggian 0 – 100 m dpl dan hanya sebagian kecil tersebar di wilayah > 100 m dpl (Peta 10). Suhu udara pada wilayah ketinggian 0 – 100 m dpl merupakan suhu udara optimum untuk perkembang-biakan nyamuk, penyebaran nyamuk, dan siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk. Ini berarti wilayah dengan ketinggian 0 – 100 m dpl merupakan wilayah yang berpotensi besar terjadinya Malaria, bahkan menjadi wilayah yang berisiko tinggi bila pada wilayah tersebut termasuk wilayah kasus Malaria. Dengan demikian wilayah-wilayah dengan ketinggian 0 – 100 m dpl yang pada umumnya terdapat di sepanjang pesisir di bagian selatan dan di dataran rendah di bagian tengah Kabupaten Ciamis patut mendapat perhatian.
Bila dilihat pada Peta 11, kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 pada umumnya tersebar di desa-desa di sekitar sungai dan bahkan lebih banyak di wilayah dekat muara sungai. Hal ini terkait dengan perilaku nyamuk pada siang hari nyamuk akan mencari tempat untuk beristirahat dan berlindung dari panas matahari, di mana tempat-tempat yang dicari adalah yang teduh dengan kelembaban yang cukup dan biasanya terdapat di bawah tumbuh-tumbuhan terutama di sekitar sungai. Selain itu, nyamuk juga dapat berkembang-biak pada air mengalir antara lain mata air, anak sungai, terusan atau kanal, dan sungai. Dengan demikian wilayah-wilayah di sekitar sungai apalagi dengan jaringan sungai yang rapat merupakan wilayah yang berpotensi besar terjadinya Malaria, bahkan menjadi wilayah yang berisiko tinggi bila pada wilayah tersebut termasuk wilayah kasus Malaria. Wilayah-wilayah yang demikian pada umumnya terdapat di sepanjang pesisir di bagian selatan, di dataran rendah di bagian tengah, dan sebagian kecil di bagian utara Kabupaten Ciamis.
Selanjutnya pada Peta 12 terlihat bahwa kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 pada umumnya tersebar di desa-desa dengan wilayah lahan basah yang cukup luas. Hal ini terkait dengan habitat nyamuk vektor Malaria yang dekat dengan air. Nyamuk vektor Malaria menggunakan air untuk tempat perindukan alami misalnya di air payau di pinggir pantai seperti lagoon, tambak ikan, dan rawa-rawa, air mengalir di daerah pegunungan, air di sawah, genangan air di hutan, bekas telapak kaki hewan dan lain-lain, atau tempat perindukan buatan misalnya sawah, tambak ikan, dan lain-lain. Dengan demikian wilayah-wilayah dengan lahan basah yang luas merupakan wilayah yang berpotensi besar terjadinya Malaria, bahkan menjadi wilayah yang berisiko tinggi bila pada wilayah tersebut termasuk wilayah kasus Malaria. Wilayah-wilayah yang demikian pada umumnya juga terdapat di sepanjang pesisir di bagian selatan, di dataran rendah di bagian tengah, dan sebagian kecil di bagian utara Kabupaten Ciamis.
Bagaimanapun, faktor penting terjadinya kasus Malaria adalah ada atau tidaknya manusia sebagai host intermediate. Pada Peta 13 terlihat bahwa kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 pada umumnya tersebar di desa-desa dengan permukiman yang cukup luas. Lebih jauh bila dilihat jumlah penduduk desa-desa dengan kasus Malaria (Lampiran 10 – Lampiran 14) pada umumnya mempunyai jumlah penduduk yang cukup besar, seperti desa Pangandaran, Babakan, dan Pananjung. Dengan demikian wilayah-wilayah dengan permukiman yang luas merupakan wilayah yang berpotensi besar terjadinya Malaria, bahkan menjadi wilayah yang berisiko tinggi bila pada wilayah tersebut termasuk wilayah kasus Malaria. Oleh karena itu, di samping wilayah-wilayah permukiman yang tersebar di bagian selatan, wilayah-wilayah permukiman yang tersebar di bagian tengah dan bagian utara Kabupaten Ciamis juga harus mendapat perhatian.
Menjadi fenomena yang menarik untuk diungkapkan bahwa persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis selama tahun 1997 – 2001 sebagian besar terjadi di 6 kecamatan di sepajang wilayah pesisir Selatan yaitu di Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, Sidamulih, Pangandaran, Kalipucang. Bila dikaitkan dengan hasil penemuan dan pemeriksaan sampel darah penderita positif, banyaknya kasus Malaria di sepanjang pesisir selatan tersebut terkait dengan karakteristik bioekologi dari nyamuk Anopheles dari spesies tertentu. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis, seluruh kasus Malaria di Kabupaten Ciamis ditularkan oleh 2 vektor nyamuk yaitu Anopheles sundaicus dan Anopheles aconitus.
Oleh karena sebagian besar kasus Malaria di Kabupaten Ciamis terjadi di 6 kecamatan di sepanjang pesisir selatan, maka dari ke-2 spesies Anopheles tersebut berarti An. sundaicus merupakan vektor yang dominan, karena An. sundaicus umumnya memilih tempat perindukan dan tempat istirahat di wilayah pesisir yang banyak ditumbuhi hutan mangrove dan nipah atau pada lagoon atau tambak. Sedangkan penularan Malaria di 2 kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Padaherang dan Kecamatan Langkaplancar mungkin sebagian besar disebabkan oleh An. Aconitus, karena karakteristik lingkungan kedua kecamatan tersebut sesuai dengan habitat An. Aconitus, yang mana An. aconitus umumnya memilih tempat perindukan dan tempat istirahat di persawahan atau kali/sungai kecil atau saluran air lainnya pada wilayah dataran rendah, kaki bukit, atau lembah. Persebaran Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1997 – 2001 dapat dilihat pada Peta 7, Peta 8, dan Peta 9.
Hasil-hasil tersebut di atas menunjukkan adanya hubungan secara kualitatif antara ketinggian lokasi, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman dengan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis selama tahun 1997 – 2001. Kasus-kasus Malaria di Kabupaten Ciamis selama tahun 1997 – 2001 tersebar membentuk pola spasial yang khas pada wilayah ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman. Pola spasial yang khas dimaksud ditunjukkan di mana kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 pada umumnya tersebar di wilayah pada ketinggian 0 – 100 m dpl dan hanya sebagian kecil tersebar di wilayah > 100 m dpl, umumnya tersebar di desa-desa di sekitar sungai dan bahkan lebih banyak di wilayah dekat muara sungai, umumnya tersebar di desa-desa dengan wilayah lahan basah yang cukup luas, dan umumnya tersebar di desa-desa dengan permukiman yang cukup luas. Bahkan lebih jauh pola spasial yang khas dimaksud ditunjukkan oleh kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 yang pada umumnya tersebar di wilayah pesisir. Walaupun fenomena tersebut membuktikan adanya suatu keterkaitan atau hubungan, namun demikian hasil yang bersifat kualitatif tersebut masih perlu pula dibuktikan atau diuji secara kuantitatif atau statistik. Pembuktian secara statistik adanya hubungan antara ketinggian lokasi, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman dengan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis selama tahun 1997 – 2001 diuraikan pada bagian berikut ini.
3.2. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Persebaran Malaria
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi persebaran penyakit Malaria. Penularan Malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu manusia, vektor (nyamuk), parasit (plasmodium), dan lingkungan (fisik, kimiawi, biologi, sosial budaya), serta pelayanan kesehatan. Sesuai ruang lingkup, analisis ini hanya ingin menggambarkan persebaran kasus Malaria yang merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen lingkungan di antaranya adalah ketinggian lokasi, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman.
Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara ketinggian lokasi, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman dengan persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis selama tahun 1997 – 2001 dilakukan analisis hubungan menggunakan uji statistik.
3.2.1. Ketinggian Lokasi
Oleh karena suhu udara dapat mempengaruhi penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk, dan musim penularan, yang mana semua itu membutuhkan suhu yang optimum. Sementara itu perbedaan ketinggian lokasi terkait dengan perbedaan suhu udara, yang mana semakin tinggi lokasi maka suhu udara semakin rendah. Oleh karena itu, dapat dikatakan ketinggian lokasi dapat mempengaruhi terjadinya penularan Malaria. Kenyataan menunjukkan bahwa secara umum penyakit Malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah. Dengan demikian semakin rendah lokasi, semakin banyak kasus Malaria.
Untuk membuktikan apakah ada hubungan antara ketinggian lokasi dengan persebaran kasus Malaria, dilakukan analisis korelasi. Dalam analisis korelasi, variabel persebaran kasus Malaria diukur menggunakan parameter jumlah kasus Malaria positif pada tahun 1997 – 2001 per desa di Kabupaten Ciamis, sedangkan variabel ketinggian lokasi diukur menggunakan parameter rata-rata ketinggian lokasi dalam administratif desa.
Selama tahun 1997 – 2001, jumlah kasus Malaria di Kabupaten Ciamis sebanyak 1.202 kasus. Bila dilihat menurut rata-rata ketinggian lokasi, pada rata-rata ketinggian 0 – 100 meter dpl terjadi 1.017 kasus, pada rata-rata ketinggian 100,1 – 300 meter dpl terjadi 81 kasus, pada rata-rata ketinggian 300,1 – 500 meter dpl terjadi 65 kasus, dan pada rata-rata ketinggian 500,1 – 700 meter dpl terjadi 39 kasus. Jumlah kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 menurut rata-rata ketinggian lokasi disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 10
Jumlah Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1997 – 2001
Menurut Rata-rata Ketinggian Lokasi
Rata-rata Ketinggian (meter dpl)
Jumlah Kasus Malaria
1997
1998
1999
2000
2001
1997–2001
0 – 100
27
122
282
373
213
1.017
100,1 – 300
0
11
25
21
24
81
300,1 – 500
40
0
16
9
0
65
500,1 – 700
16
1
14
8
0
39
Jumlah
83
134
337
411
237
1.202
Tabel di atas menunjukkan sebagian besar kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 tersebar di desa-desa dengan rata-rata ketinggian lokasi 0 – 100 meter dpl dan hanya sebagian kecil tersebar di wilayah > 100 meter dpl. Pada tabel di atas juga dapat dilihat adanya pola tertentu dari jumlah kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 yaitu semakin tinggi lokasi maka semakin sedikit jumlah kasus Malaria, walaupun perbedaan jumlah kasus Malaria untuk klasifikasi wilayah dengan rata-rata ketinggian lokasi 100,1 – 300 meter dpl, 300,1 – 500 meter dpl, dan 500,1 – 700 meter dpl terlihat tidak besar. Namun demikian, hal ini menunjukkan adanya suatu keterkaitan atau hubungan antara ketinggian lokasi dengan jumlah kasus Malaria. Apakah hubungan antara ketinggian lokasi dengan jumlah kasus Malaria terbukti secara statistik?
Hasil uji korelasi antara rata-rata ketinggian lokasi desa dengan jumlah kasus Malaria diperoleh nilai p sebesar 0,027, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05, sehingga disimpulkan ada korelasi antara ketinggian dan persebaran kasus Malaria. Dari uji korelasi juga diperoleh nilai r sebesar -0,753 yang berarti bahwa korelasi kedua variabel tersebut dapat dikatakan kuat/besar dengan arah negatif, sehingga disimpulkan semakin tinggi lokasi, semakin sedikit kasus Malaria.
Hasil analisis regresi sederhana terhadap rata-rata ketinggian lokasi desa dan jumlah kasus Malaria diperoleh nilai koefisien konstanta (constant) sebesar 37,209 dengan nilai kemaknaan (p) sebesar 0,001 maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti konstanta berpengaruh terhadap model regresi, dan diperoleh juga nilai koefisien b dari variabel ketinggian sebesar -0,058 dengan nilai p sebesar 0,027 maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti rata-rata ketinggian berpengaruh terhadap jumlah kasus Malaria, sehingga model regresi sederhananya adalah Jumlah kasus Malaria = 37,209 – 0,058 * rata-rata ketinggian. Yang berarti besarnya jumlah kasus Malaria sama dengan 37,209 dikurangi 0,058 kali rata-rata ketinggian lokasi desa.
Hasil uji kemaknaan model regresi menggunakan uji Anova diperoleh nilai p (sig.) sebesar 0,27 yang lebih kecil dari pada nilai a (0,05), berarti model regresi yang diperoleh secara statistik bermakna atau dapat digunakan. Berikut ini disajikan diagram tebar dan garis regresi untuk menggambarkan hubungan antara ketinggian lokasi dan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001.

Hubungan antara Ketinggian Lokasi dengan Jumlah Kasus Malaria
Tahun 1997 – 2001
Gambar 7
Dengan nilai koefisien korelasi (R) sebesar -0,753 berarti bahwa hubungan antara variabel ketinggian dengan variabel kejadian Malaria adalah kuat intensitasnya dan arah hubungannya adalah negatif, atau dapat dikatakan semakin besar nilai variabel independen maka semakin kecil nilai variabel independen. Dengan demikian semakin tinggi lokasi maka semakin kecil jumlah kasus Malaria.
Sementara itu nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari analisis regresi sederhana terhadap kedua variabel tersebut adalah sebesar 0,566. Ini berarti variasi variabel kejadian Malaria dapat dijelaskan oleh variabel ketinggian sebesar 57% atau dapat dikatakan persamaan regresi sederhana tersebut hanya dapat memprediksi variabilitas besarnya jumlah kejadian Malaria sebesar 57%. Sedangkan 43% selebihnya tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen tersebut, tetapi hanya dapat dijelaskan oleh variabel lain atau dengan kata lain 43% besar-kecilnya besarnya jumlah kejadian Malaria mungkin dipengaruhi oleh variabel lain.
Pada gambar di atas juga terlihat adanya penyimpangan yang cukup ekstrim pada scatter plot yang dibuat, di mana beberapa plot jauh dari garis regresi. Ada desa dengan rata-rata ketinggian yang cukup tinggi mempunyai jumlah kasus Malaria yang cukup besar (lihat tanda panah ke kanan pada scatter plot), yaitu desa Bangunjaya dengan rata-rata ketinggian adalah 433 m dpl dan jumlah kasus Malaria sebesar 49 kasus. Mengapa demikian? Bila dilihat Lampiran 6, Lampiran 7, dan Lampiran 15, ternyata desa Bangunjaya mempunyai persentase luas lahan basah yang cukup besar. Faktor ini mungkin menyebabkan tingginya kasus Malaria cukup besar di desa Bangunjaya.
Selanjutnya, dua desa lainnya dengan jumlah kasus Malaria yang cukup tinggi yaitu desa Pamotan dan desa Babakan (lihat tanda panah ke kiri pada scatter plot) walaupun kedua desa tersebut memang mempunyai rata-rata ketinggian yang rendah yaitu masing-masing sebesar 62,05 m dpl dan 26,53 m dpl. Namun cukup tingginya jumlah kasus Malaria dapat saja disebabkan adanya faktor lainnya yang mendukung, yaitu untuk desa Pamotan mempunyai persentase luas lahan basah yang cukup besar yaitu 31,22%, sedangkan untuk desa Babakan mempunyai persentase luas permukiman yang cukup besar yaitu 39,76%.
Pada gambar di atas terlihat bahwa garis regresi untuk menggambarkan hubungan antara ketinggian lokasi dan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001 mengarah ke kanan bawah. Hal ini membuktikan adanya linieritas pada hubungan dua variabel tersebut dan garis regresi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa semakin besar rata-rata ketinggian lokasi desa semakin sedikit kasus Malaria.
Bila dilihat pada Lampiran 17 pada curva fit model 2, menunjukkan bahwa model regresi polinomial yang dibuat diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang sangat kecil yaitu sebesar 0,057 atau lebih kecil dari pada nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari model regresi linier. Dengan demikian untuk melihat hubungan antara rata-rata ketinggian lokasi dengan jumlah kasus Malaria, model regresi linier lebih baik dari pada model regresi polinomial. Berikut ini disajikan diagram tebar dan garis regresi polinomial untuk menggambarkan hubungan antara rata-rata ketinggian lokasi dengan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001.

Kurva Polinomial pada Hubungan antara
Ketinggian Lokasi dengan Jumlah Kasus Malaria
Gambar 8
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa ketinggian lokasi berpengaruh terhadap persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis, di mana variasi ketinggian lokasi menyebabkan variasi suhu udara yaitu semakin tinggi lokasi semakin rendah suhu udara. Bila dilihat fakta yang ada (Peta 10) menunjukkan persebaran Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 pada umumnya di wilayah pada ketinggian 0 – 100 m dpl dan hanya sebagian kecil tersebar di wilayah > 100 m dpl. Hal ini sejalan dengan landasan pustaka bahwa perkembang-biakan nyamuk, penyebaran nyamuk, siklus pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk, dan musim penularan sangat tergantung pada suhu udara di mana suhu udara pada wilayah ketinggian 0 – 100 m dpl merupakan suhu udara optimum terjadinya penyebaran Malaria.
Sementara itu, Kabupaten Ciamis berada pada ketinggian antara 0 – 1.000 meter di atas permukaan laut dan memiliki topografi yang bervariasi di mana bagian utara merupakan wilayah pegunungan, bagian tengah merupakan dataran rendah, dan bagian selatan merupakan wilayah berbukit-bukit dan pantai. Dengan melihat kondisi topografi yang demikian dapat diramalkan potensi persebaran kasus Malaria lebih banyak terjadi di wilayah pesisir dan dataran rendah di bagian tengah, apalagi bila wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah kasus Malaria maka akan berisiko tinggi.
3.2.2. Jaringan Sungai
Jaringan sungai merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap persebaran Malaria. Berdasarkan kajian pustaka, nyamuk Anopheles biasanya mencari tempat-tempat yang lembab untuk bersarang terutama di sekitar aliran sungai. Dengan demikian semakin rapat jaringan sungai, maka semakin banyak kasus Malaria, dan berarti bahwa ada hubungan antara kerapatan jaringan sungai dengan persebaran kasus Malaria.
Untuk membuktikan apakah ada hubungan antara kerapatan jaringan sungai dengan persebaran kasus Malaria, dilakukan analisis korelasi. Dalam analisis korelasi, variabel persebaran kasus Malaria diukur menggunakan parameter jumlah kasus Malaria positif pada tahun 1997 – 2001 per desa di Kabupaten Ciamis, sedangkan variabel jaringan sungai diukur menggunakan parameter besarnya kerapatan jaringan sungai dalam administratif desa.
Bila dilihat menurut kerapatan jaringan sungai, dari 1.202 kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001, jumlah kasus Malaria di desa dengan kerapatan jaringan sungai 0,3214 – 1,0398 Km/Km2 sebanyak 327 kasus, di desa dengan kerapatan jaringan sungai 1,0399 – 1,7583 Km/Km2 sebanyak 103 kasus, di desa dengan kerapatan jaringan sungai 1,7583 – 2,4767 Km/Km2 sebanyak 602 kasus, dan di desa dengan kerapatan jaringan sungai 2,4768 – 3,1951 Km/Km2 sebanyak 170 kasus. Jumlah kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 menurut kerapatan jaringan sungai disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 11
Jumlah Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1997 – 2001
Menurut Kerapatan Jaringan Sungai
Kerapatan Jaringan Sungai (km/km2)
Jumlah Kasus Malaria
1997
1998
1999
2000
2001
1997–2001
0,3214 1,0398
9
66
85
107
60
327
1,0399 1,7583
22
7
34
36
4
103
1,7584 2,4767
52
26
139
219
166
602
2,4768 3,1951
0
35
79
49
7
170
Jumlah
83
134
337
411
237
1.202
Tabel di atas menunjukkan sebagian besar kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 tersebar di desa-desa dengan kerapatan jaringan sungai 1,7584 – 2,4767 km/km2. Pada tabel di atas juga dapat dilihat bahwa jumlah kasus Malaria lebih banyak tersebar di desa-desa dengan kerapatan jaringan sungai > 1,7584 km/km2 dari pada di desa-desa dengan kerapatan jaringan sungai < 1,7584 km/km2, walaupun terlihat tidak membentuk pola yang serasi yaitu semakin rapat jaringan sungai maka semakin banyak jumlah kasus Malaria. Apakah secara statistik ada korelasi antara ketinggian lokasi dengan jumlah kasus Malaria?
Hasil uji korelasi antara kerapatan jaringan sungai dengan jumlah kasus Malaria diperoleh nilai p sebesar 0,040, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05, sehingga disimpulkan ada korelasi antara jaringan sungai dan persebaran kasus Malaria. Dari uji korelasi juga diperoleh nilai r sebesar 0,372 yang berarti bahwa korelasi kedua variabel tersebut dapat dikatakan sedang dengan arah positif, sehingga disimpulkan semakin tinggi kerapatan jaringan sungai, semakin banyak kasus Malaria.
Hasil analisis regresi sederhana terhadap kerapatan jaringan sungai dan jumlah kasus Malaria diperoleh nilai koefisien konstanta (constant) sebesar 14,873 dengan nilai kemaknaan (p) sebesar 0,044 maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti konstanta berpengaruh terhadap model regresi, dan diperoleh juga nilai koefisien b dari variabel kerapatan jaringan sungai sebesar 10,052 dengan nilai p sebesar 0,040 maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti kerapatan jaringan sungai berpengaruh terhadap jumlah kasus Malaria, sehingga model regresi sederhananya adalah Jumlah kasus Malaria = 14,873 + 10,052 * kerapatan jaringan sungai. Yang berarti besarnya jumlah kasus Malaria sama dengan 14,873 ditambah 10,052 kali kerapatan jaringan sungai.
Hasil uji kemaknaan model regresi menggunakan uji Anova diperoleh nilai p (sig.) sebesar 0,040 yang lebih kecil dari pada nilai a (0,05), berarti model regresi yang diperoleh secara statistik bermakna atau dapat digunakan. Berikut ini disajikan diagram tebar dan garis regresi untuk menggambarkan hubungan antara kerapatan jaringan sungai dengan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001.

Hubungan antara Kerapatan Jaringan Sungai dengan Jumlah Kasus Malaria
Tahun 1997 – 2001
Gambar 9
Dengan nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,372 berarti bahwa hubungan antara variabel jaringan sungai dengan variabel kejadian Malaria adalah sedang intensitasnya dan arah hubungannya adalah positif, semakin besar nilai variabel independen maka semakin besar nilai variabel independen atau semakin tinggi kerapatan jaringan sungai maka semakin besar jumlah kasus Malaria.
Sementara itu nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari analisis regresi sederhana terhadap kedua variabel tersebut adalah sebesar 0,138. Ini berarti variasi variabel kejadian Malaria dapat dijelaskan oleh variabel jaringan sungai sebesar 14% atau dapat dikatakan persamaan regresi sederhana tersebut hanya dapat memprediksi variabilitas besarnya jumlah kejadian Malaria sebesar 14%. Sedangkan 86% selebihnya tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen tersebut, tetapi hanya dapat dijelaskan oleh variabel lain atau dengan kata lain 86% besar-kecilnya besarnya jumlah kejadian Malaria mungkin dipengaruhi oleh variabel lain.
Pada gambar di atas juga terlihat adanya penyimpangan yang cukup ekstrim pada scatter plot yang dibuat, di mana beberapa plot jauh dari garis regresi. Ada dua desa dengan jumlah kasus Malaria yang cukup tinggi yaitu desa Babakan dan desa Pamotan, sementara itu kerapatan jaringan sungai untuk kedua desa tersebut relatif rendah (lihat tanda panah ke kanan pada scatter plot). Melihat kenyataan yang demikian, tentunya ada faktor lain yang berkontribusi sehingga jumlah kasus Malaria di kedua desa tersebut tinggi. Bila dilihat Lampiran 6, Lampiran 7, Lampiran 8, dan Lampiran 15, sebagaimana disebutkan di atas bahwa desa Babakan mempunyai persentase luas permukiman yang cukup besar yaitu 39,76% dengan rata-rata ketinggian yang cukup rendah yaitu 26,53 m dpl dan desa Pamotan mempunyai persentase luas lahan basah yang cukup besar yaitu 31,22% dengan rata-rata ketinggian yang cukup rendah yaitu 62,05 m dpl. Ini berarti bahwa tingginya jumlah kasus Malaria di kedua desa tersebut hasil kontribusi faktor lainnya yaitu rendahnya ketinggian lokasi, luasnya wilayah lahan basah, dan luasnya wilayah permukiman.
Pada gambar di atas juga terlihat bahwa garis regresi untuk menggambarkan hubungan antara kerapatan jaringan sungai dan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001 mengarah ke kanan atas. Hal ini membuktikan adanya linieritas pada hubungan dua variabel tersebut dan garis regresi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa semakin besar kerapatan jaringan sungai semakin besar jumlah kasus Malaria.
Bila dilihat pada Lampiran 17 pada curva fit model 2, menunjukkan bahwa model regresi polinomial yang dibuat diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang sangat kecil yaitu sebesar 0,089 atau lebih kecil dari pada nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari model regresi linier. Dengan demikian untuk melihat hubungan antara kerapatan jaringan sungai dengan jumlah kasus Malaria, model regresi linier lebih baik dari pada model regresi polinomial. Berikut ini disajikan diagram tebar dan garis regresi polinomial untuk menggambarkan hubungan antara kerapatan jaringan sungai dengan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001.

Kurva Polinomial pada Hubungan antara
Kerapatan Jaringan Sungai dengan Jumlah Kasus Malaria
Gambar 11
Hasil di atas membuktikan bahwa kerapatan jaringan sungai berpengaruh terhadap persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis. Hal ini sejalan dengan landasan pustaka bahwa sungai berpotensi sebagai tempat berkembang-biak dan beristirahat nyamuk vektor Malaria. Nyamuk biasanya mencari tempat untuk beristirahat dan berlindung dari panas matahari, di mana tempat-tempat yang dicari adalah yang teduh dengan kelembaban yang cukup dan biasanya terdapat di bawah tumbuh-tumbuhan terutama di sekitar sungai. Selain itu, nyamuk juga dapat berkembang-biak pada air mengalir antara lain mata air, anak sungai, terusan atau kanal, dan sungai. Wilayah dengan jaringan sungai yang rapat pada umumnya terdapat di sepanjang pesisir di bagian selatan, di dataran rendah di bagian tengah, dan sebagian kecil di bagian utara Kabupaten Ciamis (Peta 11). Wilayah-wilayah dimaksud dapat dikatakan sebagai wilayah yang berpotensi besar terjadinya Malaria, bahkan menjadi wilayah yang berisiko tinggi bila pada wilayah tersebut termasuk wilayah kasus Malaria.
3.2.3. Lahan Basah
Sepanjang siklus hidupnya, nyamuk Anopheles membutuhkan air yang cukup terutama sebagai tempat perindukan dan tempat istirahat. Oleh karena lahan basah merupakan habitat yang baik bagi nyamuk Anopheles, maka lahan basah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap persebaran Malaria. Dengan demikian dapat dikatakan semakin besar persentase luas lahan basah, maka semakin banyak kasus Malaria.
Seperti halnya di atas untuk mengukur variabel persebaran kasus Malaria pada penelitian ini digunakan parameter jumlah kasus Malaria positif pada tahun 1997 – 2001 per desa di Kabupaten Ciamis, sedangkan untuk mengukur variabel lahan basah digunakan parameter persentase luas lahan basah (persawahan, rawa, situ, danau, telaga, atau lahan basah lainnya) terhadap administrasi desa.
Dari 1.202 kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001, jumlah kasus Malaria di desa dengan persentase luas lahan basah < 15% sebanyak 229 kasus, di desa dengan persentase luas lahan basah 15,01% – 30% sebanyak 257 kasus, di desa dengan persentase luas lahan basah 30,01% – 45% sebanyak 435 kasus, dan di desa dengan persentase luas lahan basah > 45% sebanyak 281 kasus. Jumlah kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 menurut persentase luas lahan basah disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 12
Jumlah Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1997 – 2001
Menurut Persentase Luas Lahan Basah
Luas Lahan Basah (%)
Jumlah Kasus Malaria
1997
1998
1999
2000
2001
1997–2001
0 15
6
57
46
84
36
229
15,01 – 30
64
12
44
70
67
257
30,01 45
6
53
114
157
105
435
> 45
7
12
133
100
29
281
Jumlah
83
134
337
411
237
1.202
Tabel di atas menunjukkan lebih dari sepertiga kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 tersebar di desa-desa dengan persentase luas lahan basah 30,01% – 45%. Pada tabel di atas juga dapat dilihat bahwa jumlah kasus Malaria lebih banyak tersebar di desa-desa dengan persentase luas lahan basah >30% dari pada di desa-desa dengan persentase luas lahan basah < 30%. Terlihat pola yang relatif serasi yaitu semakin besar persentase luas lahan basah maka semakin banyak jumlah kasus Malaria yang menunjukkan adanya keterkaitan antara persentase luas lahan basah dengan jumlah kasus Malaria. Apakah secara statistik ada korelasi antara persentase luas lahan basah dengan jumlah kasus Malaria?
Hasil uji korelasi antara persentase luas lahan basah dengan jumlah kasus Malaria diperoleh nilai p sebesar 0,050, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05, sehingga disimpulkan ada korelasi antara luas lahan basah dan persebaran kasus Malaria. Walaupun uji korelasi diperoleh nilai r sebesar 0,226 yang berarti bahwa korelasi kedua variabel tersebut dapat dikatakan lemah dengan arah positif, sehingga disimpulkan semakin tinggi persentase luas lahan basah, semakin besar kejadian Malaria.
Hasil analisis regresi sederhana terhadap persentase luas lahan basah dan jumlah kasus Malaria diperoleh nilai koefisien konstanta (constant) sebesar 28,060 dengan nilai kemaknaan (p) sebesar 0,027 maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti konstanta berpengaruh terhadap model regresi, dan diperoleh juga nilai koefisien b dari variabel luas lahan basah sebesar 0,047 dengan nilai p sebesar 0,049 maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti luas lahan basah berpengaruh terhadap jumlah kasus Malaria, sehingga model regresi sederhananya adalah Jumlah kasus Malaria = 28,060 + 0,047 * persentase luas lahan basah. Yang berarti besarnya jumlah kasus Malaria sama dengan 28,060 ditambah 0,047 kali persentase luas lahan basah.
Hasil uji kemaknaan model regresi menggunakan uji Anova diperoleh nilai p (sig.) sebesar 0,049 yang lebih kecil dari pada nilai a (0,05), berarti model regresi yang diperoleh secara statistik bermakna atau dapat digunakan. Berikut ini disajikan diagram tebar dan garis regresi linier untuk menggambarkan hubungan antara luas lahan basah dengan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001.

Hubungan antara Luas Lahan Basah dengan Jumlah Kasus Malaria
Tahun 1997 – 2001
Gambar 11
Dengan nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,226 berarti bahwa hubungan antara variabel luas lahan basah dengan variabel kejadian Malaria adalah sedang intensitasnya dan arah hubungan itu adalah positif, atau dapat dikatakan semakin besar nilai variabel independen maka semakin besar nilai variabel independen. Dengan demikian semakin luas lahan basah maka semakin besar jumlah kasus Malaria.
Sementara itu nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari analisis regresi sederhana terhadap kedua variabel tersebut adalah sebesar 0,051. Ini berarti bahwa variasi variabel kejadian Malaria dapat dijelaskan oleh variabel luas lahan basah sebesar 0,5% atau dapat dikatakan persamaan regresi sederhana tersebut hanya dapat memprediksi variabilitas besarnya jumlah kejadian Malaria sebesar 0,5%. Sedangkan 99,5% selebihnya tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen tersebut, tetapi hanya dapat dijelaskan oleh variabel lain atau dengan kata lain 99,5% besar-kecilnya besarnya jumlah kejadian Malaria mungkin dipengaruhi oleh variabel lain.
Pada gambar di atas juga terlihat adanya penyimpangan yang cukup ekstrim pada scatter plot yang dibuat, di mana beberapa plot jauh dari garis regresi. Hal ini menunjukkan beberapa desa terjadi kasus Malaria dengan jumlah yang cukup tinggi, sementara itu persentase luas lahan basahnya desa-desa tersebut relatif tidak tinggi (lihat tanda panah ke kiri pada scatter plot). Ini berarti bahwa tingginya jumlah kasus Malaria di beberapa desa tersebut merupakan hasil kontribusi faktor lainnya di antaranya rendahnya lokasi dan luasnya wilayah permukiman.
Pada gambar di atas juga terlihat bahwa garis regresi untuk menggambarkan hubungan antara persentase luas lahan basah dan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001 mengarah ke kanan atas walaupun cenderung datar. Namun demikian, hal ini tetap membuktikan adanya linieritas pada hubungan dua variabel tersebut dan garis regresi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa semakin besar persentase luas lahan basah semakin besar jumlah kasus Malaria.

Kurva Polinomial pada Hubungan antara
Luas Lahan Basah dengan Jumlah Kasus Malaria
Gambar 12
Bila dilihat pada Lampiran 17 pada curva fit model 3, menunjukkan bahwa model regresi polinomial yang dibuat diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) yang sangat kecil yaitu sebesar 0,035 atau lebih kecil dari pada nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari model regresi linier. Dengan demikian untuk melihat hubungan antara persentase luas lahan basah dengan jumlah kasus Malaria, model regresi linier lebih baik dari pada model regresi polinomial. Diagram tebar dan garis regresi polinomial untuk menggambarkan hubungan antara luas lahan basah dengan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001, dapat dilihat di atas.
Hasil penelitian di atas membuktikan bahwa lahan basah berpengaruh terhadap persebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis. Hal ini sejalan dengan landasan teori bahwa habitat nyamuk vektor Malaria dekat dengan air. Nyamuk vektor Malaria menggunakan air atau genangan air sebagai tempat perindukan, misalnya di air payau di pinggir pantai seperti lagoon, tambak ikan, dan rawa-rawa, air mengalir di daerah pegunungan, air di sawah, genangan air di hutan, bekas telapak kaki hewan, dan lain-lain. Wilayah yang demikian banyak terdapat di Kabupaten Ciamis terutama di wilayah pesisir di bagian selatan, dataran rendah di bagian tengah, dan sebagian kecil di bagian utara (Peta 12). Wilayah-wilayah itu merupakan wilayah yang berpotensi besar terjadinya Malaria, bahkan menjadi wilayah yang berisiko tinggi bila pada wilayah tersebut termasuk wilayah kasus Malaria.
3.2.4. Permukiman
Risiko terjadinya penularan atau penyebaran Malaria oleh nyamuk Anopheles (vektor) sangat tergantung pada ada atau tidaknya manusia sebagai host intermediate. Ini berarti bahwa kepadatan penduduk di suatu wilayah berpengaruh terhadap penularan atau persebaran Malaria. Semakin padat jumlah penduduk di suatu wilayah akan semakin besar potensi terjadi penularan atau penyebaran Malaria.
Dalam penelitian ini dipilih variabel permukiman dengan alasan bahwa kerapatan permukiman secara langsung maupun tidak langsung dapat menggambarkan kepadatan penduduk di suatu wilayah. Dengan demikian semakin besar persentase luas permukiman, semakin banyak kasus Malaria.
Masih seperti di atas untuk mengukur variabel persebaran kasus Malaria pada penelitian ini digunakan parameter jumlah kasus Malaria positif pada tahun 1997 - 2001 per desa di Kabupaten Ciamis, sedangkan untuk mengukur variabel permukiman digunakan parameter persentase luas permukiman terhadap administrasi desa.
Dari 1.202 kasus Malaria di Kabupaten Ciamis tahun 1997 – 2001, jumlah kasus Malaria di desa dengan persentase luas permukiman > 4% sebanyak 307 kasus, di desa dengan persentase luas permukiman 4,01 – 8% sebanyak 236 kasus, di desa dengan persentase luas permukiman 8,01 – 12% sebanyak 230 kasus, dan di desa dengan persentase luas permukiman > 12% sebanyak 429 kasus. Jumlah kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 menurut persentase luas permukiman disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 13
Jumlah Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1997 – 2001
Menurut Persentase Luas Permukiman
Luas Permukiman (%)
Jumlah Kasus Malaria
1997
1998
1999
2000
2001
1997–2001
0 4
4
56
80
109
58
307
4,01 – 8
10
14
55
82
75
236
8,01 12
56
7
76
72
19
230
> 12
13
57
126
148
85
429
Jumlah
83
134
337
411
237
1.202
Tabel di atas menunjukkan lebih dari separuh kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 tersebar di desa-desa dengan persentase luas permukiman > 12% dan < 4%. Selanjutnya bila diperhatikan jumlah kasus Malaria lebih banyak tersebar di desa-desa dengan persentase luas permukiman >8% dari pada di desa-desa dengan persentase luas permukiman < 8%, walaupun relatif tidak menunjukkan pola yang serasi yaitu semakin besar persentase luas permukiman maka semakin banyak jumlah kasus Malaria. Apakah secara statistik ada korelasi antara persentase luas permukiman dengan jumlah kasus Malaria?
Hasil uji korelasi antara persentase luas permukiman dengan jumlah kasus Malaria diperoleh nilai p sebesar 0,014, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05, sehingga disimpulkan ada korelasi antara luas permukiman dan persebaran kasus Malaria. Dari uji korelasi juga diperoleh nilai r sebesar 0,381 yang berarti bahwa korelasi kedua variabel tersebut dapat dikatakan sedang dengan arah positif, sehingga disimpulkan semakin besar persentase luas wilayah permukiman, semakin banyak kasus Malaria.
Hasil analisis regresi sederhana terhadap persentase luas permukiman dan jumlah kasus Malaria diperoleh nilai koefisien konstanta (constant) sebesar 7,512 dengan nilai kemaknaan (p) sebesar 0,042 maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti konstanta berpengaruh terhadap model regresi, dan diperoleh juga nilai koefisien b dari variabel luas permukiman sebesar 2,818 dengan nilai p sebesar 0,014 maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti luas permukiman berpengaruh terhadap jumlah kasus Malaria, sehingga model regresi sederhananya adalah Jumlah kasus Malaria = 7,512 + 2,818 * persentase luas permukiman. Yang berarti besarnya jumlah kasus Malaria sama dengan 7,512 ditambah 2,818 kali persentase luas permukiman.
Hasil uji kemaknaan model regresi menggunakan uji Anova diperoleh nilai p (sig.) sebesar 0,014 yang lebih kecil dari pada nilai a (0,05), berarti model regresi yang diperoleh secara statistik bermakna atau dapat digunakan. Berikut ini disajikan diagram tebar dan garis regresi untuk menggambarkan hubungan antara luas permukiman dengan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001.

Hubungan antara Luas Permukiman dengan Jumlah Kasus Malaria
Tahun 1997 – 2001
Gambar 13
Dengan nilai koefisien korelasi (R) sebesar 0,381 berarti bahwa hubungan antara variabel luas permukiman dengan variabel kejadian Malaria adalah sedang intensitasnya dan arah hubungan itu adalah positif, yang dapat dikatakan semakin besar nilai variabel independen maka semakin besar nilai variabel independen, atau semakin luas permukiman maka semakin besar jumlah kasus Malaria.
Sementara itu nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari analisis regresi sederhana terhadap kedua variabel tersebut adalah sebesar 0,145. Ini berarti bahwa variasi variabel kejadian Malaria dapat dijelaskan oleh variabel luas permukiman sebesar 15% atau dapat dikatakan persamaan regresi sederhana tersebut hanya dapat memprediksi variabilitas besarnya jumlah kejadian Malaria sebesar 15%. Sedangkan 85% selebihnya tidak dapat dijelaskan oleh variabel independen tersebut, tetapi hanya dapat dijelaskan oleh variabel lain atau dengan kata lain 85% besar-kecilnya besarnya jumlah kejadian Malaria mungkin dipengaruhi oleh variabel lain.
Pada gambar di atas juga terlihat adanya penyimpangan yang cukup ekstrim pada scatter plot yang dibuat, di mana beberapa plot jauh dari garis regresi. Plot yang jauh dari garis regresi tersebut menunjukkan adanya desa dengan kasus Malaria yang cukup tinggi tetapi persentase luas permukimannya relatif rendah (lihat tanda panah ke kiri pada scatter plot), yaitu desa Babakan, Pamotan, Pangandaran, dan Bagolo. Ini berarti bahwa tingginya jumlah kasus Malaria di beberapa desa tersebut merupakan hasil kontribusi faktor lainnya di antaranya rendahnya lokasi, luasnya wilayah lahan basah, atau tingginya kerapatan jaringan sungai.
Pada gambar di atas juga terlihat bahwa garis regresi untuk menggambarkan hubungan antara persentase luas permukiman dan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001 mengarah ke kanan atas. Hal ini membuktikan adanya linieritas pada hubungan dua variabel tersebut dan garis regresi tersebut dapat diinterpretasikan bahwa semakin besar persentase luas permukiman semakin besar jumlah kasus Malaria.
Bila dilihat pada Lampiran 17 pada curva fit model 4, menunjukkan bahwa model regresi polinomial yang dibuat diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,287 atau lebih besar dari pada nilai koefisien determinasi yang diperoleh dari model regresi linier. Dengan demikian untuk melihat hubungan antara persentase luas permukiman dengan jumlah kasus Malaria, model regresi polinomial lebih baik dari pada model regresi linier. Model regresi polinomial yang diperoleh adalah Jumlah kasus Malaria = 8,4657 + 7,0665 * % luas permukiman – 0,6352 * % luas permukiman2 + 0,0146 * % luas permukiman3. Berikut ini disajikan diagram tebar dan garis regresi polinomial untuk menggambarkan hubungan antara luas permukiman dengan jumlah kasus Malaria tahun 1997 – 2001.

Kurva Polinomial pada Hubungan antara
Luas Permukiman dengan Jumlah Kasus Malaria
Gambar 14
Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan adanya pengaruh luas permukiman terhadap persebaran kasus Malaria di mana semakin luas wilayah permukiman maka semakin banyak kasus Malaria, yang berarti bahwa semakin banyak jumlah penduduk maka semakin banyak kasus Malaria. Bila dilihat jumlah penduduk desa-desa dengan kasus Malaria (Lampiran 10 – Lampiran 14), pada umumnya mempunyai jumlah penduduk yang cukup besar seperti desa Pangandaran, Babakan, dan Pananjung. Hal ini sejalan dengan pustaka yang ada bahwa faktor penting terjadinya penularan Malaria adalah manusia sebagai host intermediate.
3.2.5. Model Persebaran Malaria
Untuk membuat model persebaran Malaria di Kabupaten Ciamis digunakan analisis regresi. Oleh karena variabel independennya lebih dari satu dan hasil regresi sederhana antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen membuktikan adanya linieritas, maka dalam penelitian ini digunakan analisis regresi linier berganda. Sebagai variabel dependen (criterion) yaitu kejadian Malaria (Y), sedangkan sebagai variabel-variabel independen (predictor) yaitu ketinggian lokasi (X1), jaringan sungai (X2), lahan basah (X3), dan permukiman (X4).
Perhitungan koefisien b menunjukkan bahwa semua variabel independen menunjukkan kemaknaan untuk dimasukkan dalam model. Hasil perhitungan koefisien diperoleh nilai koefisien konstanta (constant) sebesar 0,693 dengan nilai kemaknaan (p) sebesar 0,037, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti konstanta berpengaruh terhadap model regresi.
Hasil perhitungan koefisien juga diperoleh nilai koefisien b dari variabel ketinggian lokasi (X1) sebesar -0,050 dengan nilai p sebesar 0,038, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti ketinggian lokasi (X1) berpengaruh terhadap persebaran kasus Malaria (Y).
Hasil perhitungan koefisien juga diperoleh nilai koefisien b dari variabel jaringan sungai (X2) sebesar 22346,002 dengan nilai p sebesar 0,007, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti jaringan sungai (X2) berpengaruh terhadap persebaran kasus Malaria (Y).
Hasil perhitungan koefisien juga diperoleh nilai koefisien b dari variabel persawahan (X3) sebesar 0,558 dengan nilai p sebesar 0,015, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti lahan basah (X3) berpengaruh terhadap persebaran kasus Malaria (Y).
Hasil perhitungan koefisien juga diperoleh nilai koefisien b dari variabel permukiman (X4) sebesar 3,349 dengan nilai p sebesar 0,008, maka Ho ditolak pada taraf nilai a=0,05 yang berarti permukiman (X4) berpengaruh terhadap persebaran kasus Malaria (Y).
Selanjutnya, dari hasil perhitungan koefisien b yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan garis regresi linier berganda adalah sebagai berikut:
Y = 0,693 – 0,050X1 + 22346,002X2 + 0,558X3 + 3,349X4
Persebaran kasus Malaria = 0,693 – (0,050 * ketinggian lokasi) + (22346,002 * kerapatan jaringan sungai) + (0,558 * persentase luas lahan basah) + (3,349 * persentase luas permukiman)
Model tersebut dapat diinterpretasikan bahwa persebaran kasus Malaria yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah kasus Malaria dalam suatu desa adalah sebesar 0,693 dikurangi 0,050 kali ketinggian lokasi ditambah 22346,002 kali kerapatan jaringan sungai ditambah 0,558 kali persentase luas lahan basah dan ditambah 3,349 kali persentase luas permukiman.
Hasil uji kemaknaan model regresi menggunakan uji Anova diperoleh nilai p (sig.) sebesar 0,039 yang lebih kecil dari pada nilai a (0,05), berarti model regresi linier berganda yang diperoleh secara statistik bermakna atau dapat digunakan.
Koefisien determinasi (R2) yang diperoleh dari analisis regresi linier berganda adalah sebesar 0,239. Ini berarti bahwa variasi variabel persebaran kasus Malaria dapat dijelaskan oleh variabel ketinggian lokasi, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman, sebesar 24%. Yang berarti bahwa persamaan regresi tersebut hanya dapat memprediksi variabilitas besarnya persebaran kasus Malaria sebesar 24%. Sedangkan 76% selebihnya tidak dapat dijelaskan oleh keempat variabel independen tersebut, tetapi hanya dapat dijelaskan oleh variabel lain atau dengan kata lain 76% besar-kecilnya persebaran kasus Malaria mungkin dipengaruhi oleh variabel lain.
Sementara itu, Koefisien korelasi (R) yang diperoleh dari analisis regresi linier berganda pada penelitian ini adalah sebesar 0,489. Ini berarti bahwa hubungan antara variabel ketinggian lokasi, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman dengan variabel persebaran kasus Malaria, sedang intensitasnya dan bentuk hubungan itu adalah positif, maka semakin besar nilai predictor maka semakin besar pula nilai criterion.
3.3. Wilayah Risiko Malaria
Dalam rangka manajemen pengendalian penyakit Malaria berbasis wilayah, dilakukan peramalan wilayah risiko Malaria untuk memperkirakan perjangkitan di masa datang agar penanggulangan Malaria dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Penentuan wilayah risiko Malaria di Kabupaten Ciamis menggunakan pemodelan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan teknik overlay.
Wilayah risiko Malaria merupakan wilayah di mana telah terjadi kasus Malaria pada wilayah yang berpotensi atau rawan terjadinya Malaria. Sementara itu, wilayah rawan merupakan wilayah dengan karakteristik lingkungan tertentu yang berpotensi menjadi lokasi kontak antara vektor Malaria dengan manusia. Wilayah yang berpotensi menjadi lokasi kontak antara vektor Malaria dengan manusia dimaksud merupakan wilayah yang menjadi habitat atau tempat hidup nyamuk Anopheles yang juga merupakan wilayah permukiman atau dekat dengan permukiman yang menjadi tempat hidup manusia. Dalam hal ini, karakteristik lingkungan tertentu dimaksud adalah faktor ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman. Dengan demikian wilayah rawan Malaria ditentukan berdasarkan variabel ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman, yaitu melihat kaitan antara variabel tersebut dengan persebaran kasus Malaria.
Hasil uji korelasi antara variabel ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman dengan variabel persebaran kasus Malaria, menunjukkan adanya hubungan atau korelasi yang bermakna antara variabel-variabel tersebut. Oleh karena itu, wilayah rawan Malaria ditentukan berdasarkan keempat variabel tersebut yaitu ketinggian, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman. Sedangkan besarnya tingkat kerawanan ditentukan menurut klasifikasi tertentu yaitu interval ketinggian untuk variabel ketinggian dan interval jarak untuk variabel jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman. Sedangkan besarnya tingkat kerawanan ditentukan dengan pembobotan pada setiap klas wilayah. Nilai bobot kerawanan setiap klas wilayah dihitung berdasarkan wilayah habitat dan jangkauan terbang nyamuk Anopheles, dengan nilai 1, 2, 3, dan 4. Oleh karena besarnya hubungan masing-masing variabel tersebut tidak sama maka nilai bobot kerawanannya juga ditentukan berdasarkan nilai koefisien korelasi (r) yang diperoleh dari uji korelasi yaitu nilai r ketinggian sebesar 0,753, nilai r jaringan sungai sebesar 0,372, nilai r lahan basah sebesar 0,226, dan nilai r permukiman sebesar 0,381. Kemudian kedua nilai bobot klas tersebut dikalikan dan diindeks agar menghasilkan suatu nilai atau tingak kerawanan yang besarnya antara 0 – 1, dengan interpretasi bilamana nilai kerawanan suatu wilayah semakin mendekati nilai 1 maka tingkat kerawanannya semakin tinggi dan sebaliknya bilamana nilai kerawanan suatu wilayah semakin mendekati nilai 0 maka tingkat kerawanannya semakin rendah.
Untuk memudahkan dalam penyajian peta dan memudahkan interpretasi data, maka nilai kerawanan dikelompokkan ke dalam klas interval 0 – 0,51 untuk tingkat kerawanan rendah, 0,51 – 0,71 untuk tingkat kerawanan sedang, dan 0,71 – 1 untuk tingkat kerawanan tinggi, maka diperoleh luas wilayah menurut tingkat kerawanan Malaria. Dari seluruh luas wilayah Kabupaten Ciamis, luas wilayah dengan tingkat kerawanan Malaria yang tinggi diperoleh sebesar 20%, wilayah dengan tingkat kerawanan sedang sebesar 39,8%, dan wilayah dengan tingkat kerawanan rendah sebesar 40,2%.

Peta 14 menunjukkan bahwa wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi pada umumnya tersebar di sepanjang pesisir di bagian selatan dan bagian tengah Kabupaten Ciamis dan hanya sebagian kecil tersebar di bagian utara Kabupaten Ciamis, yang mencakup 20% dari luas Kabupaten Ciamis. Wilayah ini sebagian besar tersebar di bagian selatan Kabupaten Ciamis yang merupakan wilayah pesisir dengan lagun, muara-muara sungai, dan lahan basah. Sebagian lagi tersebar di bagian tengah timur Kabupaten Ciamis yang mana pada wilayah ini pada umumnya merupakan persawahan atau lahan basah lainnya dan dataran rendah yang banyak dialiri sungai. Selebihnya tersebar di bagian utara barat Kabupaten Ciamis pada wilayah-wilayah persawahan atau lahan basah lainnya dan aliran sungai. Wilayah-wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi terhadap persebaran Malaria di Kabupaten Ciamis tersebut pada umumnya juga merupakan permukiman atau bukan permukiman tetapi masih dalam jangkauan terbang nyamuk Anopheles.
Peta 14 juga menunjukkan wilayah dengan tingkat kerawanan sedang terhadap persebaran Malaria yang juga tersebar di bagian selatan dan tengah Kabupaten Ciamis, yang mencakup 39,8% dari luas Kabupaten Ciamis. Wilayah ini sebagian besar tersebar di bagian selatan dan tengah Kabupaten Ciamis yang mana pada wilayah ini pada umumnya merupakan wilayah bukan persawahan atau lahan basah lainnya dan bukan aliran sungai tetapi masih dalam jangkauan terbang nyamuk Anopheles.
Selanjutnya untuk wilayah dengan tingkat kerawanan yang rendah terhadap Malaria di Kabupaten Ciamis tersebar hampir merata di seluruh Kabupaten Ciamis walaupun lebih banyak di bagian utara, yang mencakup 40,2% dari luas Kabupaten Ciamis. Wilayah ini pada umumnya merupakan kebun campuran, perkebunan karet, semak, tegalan, atau bukan lahan basah lainnya yang jauh dari permukiman. Wilayah dengan tingkat kerawanan yang rendah ini juga mencakup wilayah-wilayah dengan ketinggian >1000 meter dpl yang menurut kepustakaan sangat jarang ditemukan kasus Malaria karena pada wilayah ini nyamuk Anopheles dan parasit Malaria tidak dapat bertahan hidup.
Bila dilihat sebaran kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 di wilayah rawan (Peta 15), maka terlihat bahwa pada umumnya kasus Malaria tersebar di wilayah-wilayah dengan tingkat kerawanan yang tinggi dan sedang di sepanjang pesisir di bagian selatan Kabupaten Ciamis dan sebagian kecil di bagian tengah. Mengapa di bagian tengah Kabupaten Ciamis yang wilayah kerawanannya relatif luas tetapi jumlah kasus Malaria pada tahun itu relatif sedikit? Bila kita lihat kembali uraian pada bagian sebelumnya bahwa kasus Malaria pada tahun 1997 – 2001 cenderung bergerak dari barat ke timur yaitu dari Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, dan Langkap Lancar bergerak ke Kecamatan Sidamulih, Pangandaran, Kalipucang, dan Padaherang. Untuk tahun-tahun berikutnya mungkin saja bergerak ke bagian tengah timur Kabupaten Ciamis di mana di wilayah-wilayah tersebut mempunyai tingkat kerawanan yang tinggi. Indikasi ke arah itu dapat dibuktikan dengan mulai timbulnya kasus Malaria di Kecamatan Padaherang pada tahun 2000 dan tahun 2001. Dengan demikian bila saja persebaran Malaria di Kabupaten Ciamis tidak dicegah, maka Malaria akan bergerak ke arah utara dari Kecamatan Kalipucang ke Kecamatan Padaherang dan terus ke kecamatan lainnya yang lebih utara dengan tingkat kerawanan yang tinggi.
Oleh karena wilayah risiko Malaria merupakan wilayah di mana telah terjadi kasus Malaria pada wilayah yang berpotensi atau rawan terjadinya Malaria, maka berdasarkan hasil penentuan wilayah rawan Malaria tersebut di atas selanjutnya ditentukan wilayah risiko Malaria, yaitu dengan memasukkan faktor kasus Malaria pada tingkat kerawanan. Faktor kasus Malaria dihitung dengan pembobotan berdasarkan jumlah kasus Malaria yang terjadi di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001. Hasil penambahan nilai kerawanan dengan nilai kasus kemudian diindeks yang menghasilkan suatu nilai indeks atau tingkat risiko Malaria yang besarnya antara 0 – 1, dengan interpretasi bilamana indeks risiko suatu wilayah semakin mendekati nilai 1 maka risikonya semakin tinggi dan sebaliknya bilamana indeks risiko suatu wilayah semakin mendekati nilai 0 maka risikonya semakin rendah.
Peta 16 menunjukkan bahwa wilayah dengan risiko yang tinggi terhadap Malaria sebagaian besar tersebar di sepanjang pesisir di bagian selatan Kabupaten Ciamis, yang mencakup hanya 1,4% dari luas Kabupaten Ciamis. Untuk wilayah dengan risiko sedang juga tersebar di sepanjang pesisir selatan dan sebagian lagi di bagian tengah yang mencakup 11,9%. Sedangkan untuk wilayah risiko rendah tersebar hampir merata di seluruh Kabupaten Ciamis yang mencakup 86,7%.
Tabel 14
Persentase Luas Wilayah Menurut Tingkat Kerawanan dan Tingkat Risiko Persebaran Malaria di Kabupaten Ciamis Tahun 1997 – 2001
Indeks/Tingkat
Persentase Luas Wilayah
Tinggi (0,711,00)
Sedang (0,510,71)
Rendah (051)
Total
Kerawanan
20,0
39,8
40,2
100
Risiko
1,4
11,9
86,7
100
4. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Sebaran kasus Malaria pada tahun 1997 – 2001 hanya terkonsentrasi di beberapa desa saja yang pada umumnya di wilayah pesisir selatan dan cenderung bergerak dari barat ke timur yaitu dari Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, dan Langkap Lancar bergerak ke Kecamatan Sidamulih, Pangandaran, Kalipucang, dan Padaherang. Hal ini membuktikan bahwa Anopheles sundaicus merupakan vektor yang dominan, karena An. sundaicus umumnya memilih tempat perindukan dan tempat istirahat di wilayah pesisir yang banyak ditumbuhi hutan mangrove dan nipah atau pada lagoon atau tambak.
2. Kasus Malaria di Kabupaten Ciamis pada tahun 1997 – 2001 pada umumnya tersebar di wilayah pada ketinggian 0 – 100 m dpl dan hanya sebagian kecil tersebar di wilayah > 100 m dpl, di desa-desa dengan permukiman yang cukup luas dan jumlah penduduk yang banyak, di desa-desa di sekitar sungai dan bahkan lebih banyak di wilayah dekat muara sungai, dan di desa-desa dengan lahan basah yang luas.
3. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa faktor ketinggian lokasi, jaringan sungai, lahan basah, dan permukiman berhubungan dengan persebaran Malaria di Kabupaten Ciamis. Semakin rendah lokasi semakin banyak kasus Malaria, semakin rapat jaringan sungai semakin banyak kasus Malaria, semakin tinggi persentase luas wilayah lahan basah semakin banyak kasus Malaria, semakin tinggi persentase luas wilayah permukiman semakin banyak kasus Malaria.
4. Pada penelitian ini diperoleh gambaran wilayah rawan Malaria dan wilayah risiko Malaria. Di mana 20% dari luas Kabupaten Ciamis merupakan wilayah dengan tingkat kerawanan yang tinggi terhadap Malaria dan 40,2% adalah wilayah dengan tingkat kerawanan rendah. Sedangkan untuk wilayah risiko Malaria, 1,4% dari luas wilayah Kabupaten Ciamis merupakan wilayah dengan risiko tinggi terhadap Malaria dan 86,7% adalah wilayah risiko rendah.


Kepustakaan
Alfandi, W. 2001. Epistemologi Geografi. Cetakan 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Alhusin, S. 2002. Aplikasi Statistik Praktis dengan SPSS 10 for Windows. Ed Ke2, cetakan pertama, 2003. Graha Ilmu
Alim, R. 2003. Hubungan Lamanya Tinggal di Ladang Berpindah dengan Infeksi Malaria di Kecamatan Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir Propinsi Riau Tahun 2002. Program Ilmu Kesehatan Masyarakat PPSUI. Depok.
Achmadi, U.F. 2003. Malaria dan Kemiskinan di Indonesia, Tinjauan Situasi Tahun 1997-2001. Jurnal Data dan Informasi Kesehatan. Pusat Data dan Informasi Depkes. Jakarta.
Achmadi, U.F. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Cetakan 1. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis. 1998. Ciamis Dalam Angka Tahun 1997. BPS Kabupaten Ciamis
_________. 1999. Ciamis Dalam Angka Tahun 1998. BPS Kabupaten Ciamis
_________. 2000. Ciamis Dalam Angka Tahun 1999. BPS Kabupaten Ciamis
_________. 2001. Ciamis Dalam Angka Tahun 2000. BPS Kabupaten Ciamis
_________. 2002. Ciamis Dalam Angka Tahun 2001. BPS Kabupaten Ciamis
_________. 2003. Ciamis Dalam Angka Tahun 2002. BPS Kabupaten Ciamis
Benenson, A.S. (ed). 1990. Control of Communicable Diseases in Man. American Public Health Association. Washington.
Bintari, R. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. PT Gramedia. Jakarta
Bintarto, R. dan S. Hadisumarno. 1987. Metode Analisa Geografi. Edisi ketiga. LP3ES, Jakarta
Bonham-Carter, G. 1994. Geographical Information System for Geoscientists: Modelling With GIS. GF Bonham-Carter. Canada.
Boulos, M.N.K. 2000. Health Geomatics. MIM Centre, School of Informatics, City University. London.
Bruce-Chwatt, L.J. 1980. Essential Malariology. William Heinemann Medical Books Ltd. London.
CDC. 2004. Geographic Distribution. Malaria. National Center for Infectious Diseases, Division of Parasitic Diseases. CDC. Atlanta.
Chin, J. 2000. Control of Communicable Diseases Manual. Seventeenth Edition. American Public Health Association. Washington DC.
Cliff, AD & JK Ord. 1981. Spasial Processes, Models & Applications. Pion Limited, London
Danoedoro, P. 2003. Fenomena Keruangan Penyakit Menular: Suatu Perspektif Geoinformasi. Kompas Online, 7 Juni 2003. Jakarta.
De Blij, H.J. and Peter O. Muller. 1992. Geography Regions and Concepts. 6th Eds. John Wiley & Sons, Inc., Canada
Demeers, Michael N. 1997. Fundamentals of Gegraphy Information System. Jhon Wiley & Sons. USA
Depkes. 1999a. Modul Epidemiologi Malaria. Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 1999b. Modul Penemuan Penderita dan Pengobatan Malaria. Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 1999c. Modul Parasitologi Malaria. Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 1999d. Modul Pemberantasan Vektor. Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 2001. Pedoman Survei Entomologi Malaria. Ditjen PPM-PL Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 2003a. Modul Pemeriksaan Parasit Malaria dan Monitoring Efikasi Obat. Ditjen PPM-PL Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 2003b. Modul Pengobatan Malaria. Ditjen PPM-PL Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 2003c. Modul Surveilans Malaria. Ditjen PPM-PL Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 2004. Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor. Ditjen PPM-PL Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
_________. 2005. Profil Kesehatan Indonesia 2003. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Earickson, R dan J. Harlin. 1994. Geographic Measurement and Quantitative Analysis. Macmillan College Publishing Company, Inc. New York.
Floore, T. 2004. Mosquito Information. Public Health Entomology Research & Education Center, Florida Agricultural & Mechanical University. Florida.
Gani, A. 2003. Kerugian Ekonomi Akibat Malaria di Beberapa Kabupaten. Jurnal Data dan Informasi Kesehatan. Pusat Data dan Informasi Depkes. Jakarta
Gubler, D.J. 1998. Resurgent Vector-Borne Diseases as a Global Health Problem. Jurnal Emerging Infectious Diseases, Vol. 4, No. 3, July-September.
Hadi, A. 1996. Vector Borne Diseases. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok.
Haggett, P. 2001. Geography: A Global Synthesis. Pearson Education. England.
Hakre, S., P. Masuoka, E. Vanzie, dan D.R. Robert. 2004. Spatial Correlation of Mapped Malaria Rates with Environmental Factor in Belize, Central America. International Journal of Health Geographics. Edisi 3:6, 22 Maret 2004. BioMed Central. http://www.ij-health geographics.com
Harijanto, P.N. 2000. Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, dan Penanganan. EGC. Jakarta.
Haring, L Lioyd dan John F. Lounsbury. 1977. Introduction to Scientific Geographic Research. 2nd Ed Wm. C. Brown Company Publisher, Iowa
Hay, S.I., S.E. Randolph, D.J. Roger (ed). 2000. Remote Sensing and Geographical Information System in Epidemiology. Academic Press, UK and USA
Huda, A.H. 2004. Selayang Pandang Penyakit-penyakit yang Ditularkan oleh Nyamuk di Provinsi Jawa Timur Tahun 2004. Web Site Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur.
Huggett, R.J. 1980. Modelling in Geography: A Mathematical Approach. Barnes & Noble Books. Totowa, New Jersey
Huggett, R.J. 1995. Geoecology: An Evolutionary Approach. Routledge. London & New York.
Keates, J.S. 1982. Understanding Maps. Longman, London and New York.
Keating, J., K. Macintyre, C.M. Mbogo, J.I. Githure, dan J.C. Beier. 2004. Characterization of Potential Larva Habitats for Anopheles Mosquitoes in Relation to Urban Land-use in Malindi, Kenya. International Journal of Health Geographics. Edisi 3:9, 04 Mei 2004. BioMed Central. http://www.ij-health geographics.com
Komaruddin dan Y.T.S. Komaruddin. 2002. Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Edisi 1. Bumi Aksara. Jakarta.
Laurini, R and Thompson. 1992. Fundamentals of Spatial Information System. Academic Pounds London
Lou, D. 2000. A Geographical Information System: A Tool to Improve Decision Making on Malaria Surveillance and Control. A Protocol of GIS for Malaria for ICDC Project. ICDC Package B Consultants. Directorate General Communicable Disease Control and Environmental Health, MOH. Jakarta
Lucas, A.O. 1984. A Short Textbook of Preventive Medicine for the Tropics. Hodder and Stoughton. London, Sidney, Auckland, Toronto
Mangkuatmodjo, S. 2004. Statistik Lanjutan. Edisi pertama. Rineka Cipta. Jakarta.
Mitchell, Andy. 1999. The ESRI Guide to GIS Analysis, Volume 1: Geographic Patterns & Relationships. Environmental System Research Institute, Inc., California
Morton, R.F. dan J.R. Hebel. Penerjemah Runizar Roesin. 1986. Bimbingan Studi Tentang Epidemiologi dan Biostatistika. Djambatan. Jakarta.
Munif, A. 1990. Investasi Cendawan pada Larva dan Pupa Nyamuk Anopheles dan Culex di Tiga Kondisi Perairan Berbeda dan Kemungkinan Penggunaannya untuk Pengendalian Hayati. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Nuarsa, I.W. 2005. Belajar Sendiri Menganalisis Data Spasial dengan ArcView GIS 3.3 untuk Pemula. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta
Pacion, M (ed). 1986. Medical Geography: Progress and Prospect. Croom Helm, London UK dan Sidney Australia
Prahasta, E. 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Informatika. Bandung.
Prahasta, E. 2002. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView. Informatika. Bandung
Prahasta, E. 2003. Sistem Informasi Geografis: ArcView Lanjut. Informatika. Bandung
Salim, E. 2003. Dampak Pengrusakan Lingkungan Terhadap Terjadinya Penyakit Malaria di Indonesia. Jurnal Data dan Informasi Kesehatan. Pusat Data dan Informasi Depkes. Jakarta
Santoso, S. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Cetakan keempat, 2004. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Santoso, S. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Cetakan kedua, 2003. PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
Setyawati, E. 2004. Analisis Spatial Kejadian Penyakit Filariasis di Kabupaten Bekasi Tahun 2003. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, PPS-UI, Depok.
Soefaat (ed). 1997. Kamus Tata Ruang. Edisi 1. Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, Ikatan Ahli Perencana Indonesia. Jakarta.
Sudjana. 1992. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi, Bagi Para Peneliti. Edisi ke-3. Transito, Bandung.
Supriatna, et.al. 2003. Analisis dan Aplikasi SIG. Modul Pelatihan Sistem Informasi Geografis. FMIPA UI. Depok.
Sutherland, D.J. 2004. Mosquito Biology. New Jersey Agriculture Experiment Station, NJMCA. New Jersey.
Wasisto, B. 2003. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Meningkatnya Kembali Angka Kesakitan Malaria di Indonesia. Jurnal Data dan Informasi Kesehatan. Pusat Data dan Informasi Depkes. Jakarta
WHO. 1989. Our Planet, Our Health: Report of the WHO Commission on Health and Environment. World Health Organization. Geneva.
Wita, P dan S. Sungkar. 1994. Malaria. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta




2 komentar:

  1. Ijin copas ya mas,, buat bahn tugas Akhir..

    BalasHapus
  2. Ada beberapa solusi alami yang dapat digunakan dalam pencegahan dan menghilangkan diabetes secara total. Namun, satu-satunya aspek paling penting dari rencana pengendalian diabetes adalah mengadopsi gaya hidup sehat Kedamaian Batin, Nutrisi dan Diet Sehat, dan Latihan Fisik Reguler. Keadaan kedamaian batin dan kepuasan diri sangat penting untuk menikmati kesehatan fisik yang baik dan atas semua kesejahteraan. Kedamaian batin dan kepuasan diri adalah kondisi pikiran yang adil. Orang dengan penyakit diabetes sering menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif. Saya didiagnosis menderita diabetes pada tahun 2000. Sedang bekerja merasa sangat lelah dan mengantuk. Saya meminjam glukometer dari rekan kerja dan diuji pada 760. Segera pergi ke dokter saya dan dia memberi saya resep seperti: Insulin, Sulfonamides, tetapi saya tidak bisa mendapatkan penyembuhan daripada mengurangi rasa sakit dan menghilangkan rasa sakit lagi. Saya menemukan nama kesaksian wanita Comfort online bagaimana Dr Akhigbe menyembuhkan HIV-nya dan saya juga menghubungi dokter dan setelah saya minum obatnya seperti yang diperintahkan, saya sekarang benar-benar bebas dari diabetes oleh dokter jamu Akhigbe. Jadi pasien diabetes yang membaca kesaksian ini untuk menghubungi emailnya drrealakhigbe@gmail.com atau Nomornya +2348142454860 Ia juga menggunakan ramuan herbalnya untuk penyakit seperti: Gigitan SPIDER, SCHIZOPHRENIA, LUPUS, DEMAM BERDARAH, MALARIA, INFEKSI EKSTERNAL, UMUM DINGIN, DASAR GABUNGAN, DASAR BAYAM, GERAKAN, STROKE, STROKE TUBERKULOSIS, PENYAKIT PERUT. ECZEMA, PROGERIA, MAKAN GANGGUAN, INFEKSI RESPIRATORI RENDAH, DIABETIKA, HERPES, HIV / AIDS,; ALS, DIARRHEA KABEL, KABEL, KANKER, MENINGITIS, HEPATITIS A DAN B, THYROID, ASCEMA, PENYAKIT HARI, KABUPATEN. AUTISM, NAUSEA Muntah ATAU DIARE, PENYAKIT GINJAL, EREKSI LEMAH. MATA TWITCHING MENSTRUATION PAINFUL ATAU IRREGULAR. Akhigbe adalah pria yang baik dan dia menyembuhkan semua tubuh yang datang kepadanya. di sini adalah email drrealakhigbe@gmail.com dan Nomornya +2349010754824

    BalasHapus