Geografi kesehatan atau sering
kali disebut medical geography (geografi medis), adalah bidang penelitian yang
menggabungkan teknik geografis ke dalam analisis kesehatan dan juga penyebaran
penyakit. Selain itu, geografi kesehatan juga mempelajari dampak iklim dan
lokasi pada kesehatan masyarakat serta distribusi pelayanan kesehatan. Geografi
kesehatan adalah bidang penting karena bertujuan untuk memberikan pemahaman
tentang masalah kesehatan dan meningkatkan kesehatan masyarakat yang didasarkan
pada berbagai faktor geografis mempengaruhinya.
Geografi kesehatan merupakan bagian dari ilmu geografi
yang khusus mempelajari topik-topik yang berhubungan dengan masalah kesehatan.
Geografi kesehatan menggunakan konsep dan teknik dari disiplin ilmu geografi
dalam menjelaskan suatu fenomena di bidang kesehatan. Salah satu konsep yang
dominan dalam geografi kesehatan yaitu mempelajari hubungan antara manusia dan
lingkungannya secara holistik dan melihat interaksi antara manusia dengan
beragam budayanya masing-masing dalam biosfer yang berbeda. (Anggigeo)
Penggunaan metode geografi dalam geografi kesehatan
lebih kepada analisis spasial. Dimana kejadian penyakit terjadi, apa
penyebabnya, bagaimana penularannya, cara penanggulangannya, merupakan beberapa
pertanyaan yang harus dijawab secara komprehensif melalui analisis spasial.
Peta sebagai alat peraga, dapat memperlihatkan sebaran kejadian penyakit yang
ada sehingga bisa menunjukkan distributional pattern dari fenomena
kejadian penyakit dan hubungannya dengan fenomena fisik permukaan bumi ataupun
aktivitas manusia sehingga dalam mencari pemecahannya dapat dijawab dengan
holistik. (Anggigeo)
Geografi kesehatan adalah
analisis hubungan antara lingkungan hidup manusia dengan penyakit, gizi, dan
sistem pelayanan kesehatan untuk menjelaskan hubungan timbal-baliknya dalam
ruang (Barret, 1986 dalam Pacion, 1986). Geografi kesehatan adalah bagian dari
geografi manusia yang berhubungan dengan aspek-aspek geografi dari (status)
kesehatan dan (sistem) pelayanan kesehatan (Boulos, 2000). Berdasarkan definisi
tersebut, mengidentifikasikan hubungan antar tiga komponen terkait dengan
geografi penyakit, geografi pelayanan kesehatan, dan geografi ilmu gizi, dengan
analisis pada skala regional untuk pengintegrasian ketiga pendekatan itu
(Pacion, 1986).
Dalam perkembangannya,
dokter, ahli kesehatan masyarakat, dan geografer kesehatan mengukur kesehatan
dalam kaitan dengan indikator sakit-sehat seperti morbiditas (kesakitan dan
komplikasi penyakit) dan mortalitas (kematian). Tiga bidang kesehatan, yaitu
epidemiologi, kesehatan masyarakat, dan geografi kesehatan berkaitan dengan
analisis distribusi penyakit dan kematian pada berbagai skala geografis, dalam
usaha untuk menentukan apakah keberadaan penyakit tertentu berhubungan dengan
beberapa faktor dalam lingkungan sosial atau lingkungan fisik (Boulos, 2000).
Namun dalam geografi
kesehatan, ada 2 subdisiplin yang berkembang pesat yaitu geografi penyakit dan
geografi sistem pelayanan kesehatan. Geografi penyakit, meliputi eksplorasi,
deskripsi, dan pemodelan ruang-waktu atas kejadian penyakit, berkaitan dengan
persoalan lingkungan, deteksi dan analisis cluster dan pola penyebaran
penyakit, analisis sebab-akibat, dan rumusan hipotesis-hipotesis baru mengenai
penyebab penyakit (Boulos, 2000). Geografi penyakit berperan penting dalam
surveilans, intervensi kesehatan, dan strategi pencegahan penyakit. Sedangkan
geografi sistem pelayanan kesehatan, berkaitan dengan perencanaan, manajemen
dan jaminan pelayanan agar sesuai kebutuhan, merumuskan kebutuhan kesehatan
masyarakat yang dilayani, dan pola wilayah yang dilayani service catchments
zones (Boulos, 2000). Riset geografis atas pelayanan kesehatan dapat
mengidentifikasi ketimpangan dalam pelayanan kesehatan antara wilayah satu dan
yang lain, dan alokasi sumberdaya yang terbatas. Sebagai contoh mengalokasikan
tenaga ke daerah-daerah yang membutuhkan, dan membantu penempatan fasilitas
kesehatan yang baru dan perluasan yang telah ada.
1. Fenomena Keruangan Penyakit
Ide tempat atau lokasi
mempengaruhi kesehatan merupakan konsep lama dan populer pada pengobatan barat.
Jauh di masa lampau Hippocrates (360-370SM), bapak kedokteran moderen, yang
mengamati bahwa penyakit tertentu tampak terjadi pada tempat tertentu dan tidak
pada tempat lain. Hippocrates secara tekun telah mencari sebab penyakit. Dia
mempelajari bagaimana cuaca, air, pakaian, makanan, pola makan dan minum
berpengaruh pada timbulnya penyakit. Konsep Hippocrates tentang sehat dan sakit
menekankan hubungan antara manusia dan lingkungannya, di mana perbedaan wilayah
terkait dengan profil sehat dan sakit tersebut yang berubah sesuai perjalanan
waktu (Boulos, 2000).
Berabad lalu manusia
juga menyadari bahwa proses sakit telah menembus melintasi wilayah
administrasi, bahkan ketika etiologi penyebab penyakit masih misteri. Usaha
memahami mengapa penyakit tertentu tampak hanya terjadi pada tempat tertentu
dan tidak pada tempat lain mengarahkan dugaan baru tentang sifat alamiah
penyakit itu. Lompatan sejarah pada revolusi pengobatan adalah "kesadaran
besar akan lingkungan bersih" terjadi di Inggris pertengahan abad ke-19
yang secara berkelanjutan menyebar kebeberapa negara lain. Studi dilakukan oleh
John Snow (1854), seorang ahli anestesi, mendemostrasikan kegunaan pemetaan dan
surveilans pada letusan kasus penyakit kolera. John Snow memetakan dan mencatat
rumah-rumah orang yang sakit rumah-rumah tersebut berkelompok pada area
tertentu dan memakai sumber air dari pompa yang sama. Untuk menduga penyebab
penyakit dilakukan dengan menutup pompa air. Karena diduga air yang dipakai
dari sumber pompa tersebut penyebabnya. John Snow, telah memetakan distribusi
kasus kolera di Soho, London selama periode epidemi. Dia mengungkapkan kasus
terbanyak terjadi di sekitar perumahan, di mana perumahan tersebut menggunakan
pompa air umum pada jalan besar sebagai sumber airnya (Boulos, 2000). Contoh
lain adalah pada awal abad ke 20 di Colorado, di mana dokter gigi melihat bahwa
anak-anak yang tinggal di wilayah-wilayah tertentu memiliki gigi dengan lebih
sedikit rongga. Mereka menggunakan peta untuk membandingkan rongga gigi
anak-anak dengan bahan kimia yang ditemukan dalam air tanah. Mereka
menyimpulkan bahwa anak-anak dengan sedikit rongga pada umumnya tinggal
(berkelompok) di sekitar wilayah yang memiliki kadar fluoride yang tinggi. Dari
sana, penggunaan fluoride menjadi terkenal dalam dunia kedokteran gigi.
Interaksi manusia dengan lingkungan dapat menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Sering terjadi, kuman yang tinggal di tubuh inang (host) kemudian berpindah ke manusia, karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus penularan berbagi penyakit melalui binatang yang mengalami domestikasi seperti sapi, babi, dan anjing. Loncat inang juga terjadi karena perubahan lingkungan. Misalnya perambahan hutan, pengubahan pola tanam pertanian, pendangkalan rawa, dan sebagainya. Perubahan lingkungan juga menyebabkan manusia lebih mudah terpapar, melalui kontak langsung ataupun melalui kotoran, dengan hewan-hewan yang menjadi inang alami (natural host) kuman (Danoedoro, 2003).
Selanjutnya disebutkan
bahwa faktor ekologis juga ditemukan oleh peneliti di India (Srivastava dkk,
2003) yang mengkaji hubungan kualitas permukiman urban dan peri-urban dengan
insidensi Malaria. Di Afrika Selatan juga ditemukan banyak kasus malaria di
wilayah-wilayah yang kurang berkembang sektor pertanian, wisata, dan
industrinya (Martin dkk, 2002). Di kedua negara itu, pengendalian malaria
dilaksanakan secara terpadu dalam kerangka nasional sistem informasi malaria
berbasis SIG.
Penyakit yang terkait
dengan kondisi lingkungan tidak hanya yang menular. Kondisi lingkungan yang
spesifik dapat memicu angka kejadian penyakit yang tinggi. Secara alami,
wilayah gunung api biasanya miskin yodium. Daerah berbatuan kapur juga
menyebabkan kandungan air tanahnya mempunyai kandungan kapur yang tinggi. Di
pedalaman Kalimantan Timur, dijumpai air permukaan dengan kandungan logam berat
kadmium yang cukup tinggi meskipun tidak terdapat kegiatan industri di
sekitarnya (Danoedoro, 2003).
Faktor non-alami juga bisa memunculkan masalah kesehatan yang perlu dipahami risiko cakupan kewilayahannya. Penggunaan pestisida yang berlebihan di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) akan mencemari air tanah dan terbawa sampai ke hilir. Jarak, arah angin, curah hujan, kemiringan lereng, gerakan air tanah, dan konsentrasi polutan industri sangat berpengaruh terhadap kesehatan penduduk di sekitar lokasi industri (Danoedoro, 2003).
2. Pemetaan Penyakit
Peta merupakan suatu
metode yang efisien dan unik untuk menggambarkan suatu distribusi fenomena
dalam ruang. Beberapa dirancang untuk menggambarkan suatu negara atau wilayah
yang menunjukkan pengaturan negara-negara atau wilayah-wilayah berkenaan dengan
satu sama lain dan konfigurasi dari batasan-batasan mereka. Ada peta lain yang
sifatnya berbeda, yang digunakan oleh para ilmuwan terkait dengan sebab dan
akibat dari distribusi fenomena dalam ruang, seperti dalam disiplin
meteorologi, klimatologi, geologi, geomorfologi, pedologi, oseanografi,
ekologi, ekonomi, ilmu-ilmu sosial, dan geografi. Meskipun demikian membuat
peta terutama untuk menunjukkan fakta, untuk menunjukkan distribusi spasial
dengan suatu ketelitian yang tidak bisa dicapai dengan uraian atau statistik,
itu semua sangat penting sebagai alat penelitian. Peta dapat merekam pengamatan
dalam format singkat tapi jelas, membantu analisis, merangsang gagasan dan
membantu perumusan hipotesis, dan untuk mengkomunikasikan penemuan (Howe, 1986
dalam Pacion, 1986).
Selanjutnya Howe (1986)
mengemukakan bahwa pemetaan penyakit masuk dalam kategori terakhir walaupun itu
tidak bisa diklaim bahwa penggunaannya dimaksudkan untuk keperluan penelitian
epidemiologis geografi kesehatan lebih lanjut. Melainkan keterangan tambahan
yang berarti dalam laporan dan yang diharapkan untuk melengkapi uraian
penjelasan tentang morbiditas dan mortalitas penyakit (Pacion, 1986).
Pemetaan penyakit dan
analisis tentang variasi geografis dan pola spasial penyakit memberikan suatu
kontribusi berharga pada pendeteksian penyebab penyakit itu yang secara
etiologi tak dikenal hingga kini. Pada saat yang sama memberikan suatu tambahan
yang komplementer dan berharga kepada metode yang baku dari epidemiologi dan
bertindak sebagai pendamping pada sudut pandang yang antroposentris dari metode
klinis dan laboratoris yang digunakan oleh sebagian besar ilmuwan kedokteran
(Howe, 1986 dalam Pacion, 1986).
3. Analisis Hubungan Ekologis
Sejak revolusi
kuantitatif perkembangan metodologi dalam geografi berkembang dengan pesat,
dalam geografi terpadu (integrated geography)
pemecahan masalah dalam geografi digunakan bermacam-macam pendekatan yaitu
pendekatan analisa keruangan (spatial analysis),
analisa ekologi (ecological
analysis), dan analisa kompleks wilayah (regional complex
analysis). Ciri geografi terpadu dalam analisanya antara lain
mempergunakan matematik yaitu terutama ilmu statistik yang sangat berguna untuk
membantu menyatakan hubungan antara variabel-variabel geografi yang banyak
jumlahnya (Bintarto dan Hadisumarno, 1987). Sebagai salah satu pendekatan
geografi, analisis ekologis dilakukan untuk mempelajari fenomena interaksi
antara organisme hidup dengan lingkungan. Oleh karena itu untuk mempelajari
ekologi seseorang harus mempelajari organisme hidup seperti manusia, hewan,
dan tumbuhan, serta lingkungannya seperti litosfer, hidrosfer, dan atmosfer.
Selain dari itu organisme hidup dapat pula mengadakan interaksi dengan
organisme hidup yang lain (Bintarto dan Hadisumarno, 1987).
Bertitik tolak pada
analisis ekologis, kemajuan teoritis dan empiris dalam geografi kesehatan yang
dihasilkan adalah dalam percepatannya mendiskripsikan pola penyakit ke dalam
eksplorasi, analisis, dan penjelasan pola itu, yang mana salah satu dari konsep
utama tentang hal itu adalah hubungan ekologis atau disebut pula hubungan
kejadian. Logika utama yang mendasari konsep ini adalah bahwa sesungguhnya
hampir setiap penyakit memperlihatkan variasi spasial. Salah satu tujuan utama
dari geografi kesehatan adalah untuk menguraikan dan menjelaskan variasi itu.
Jika angka prevalesi, angka insiden, atau ukuran-ukuran frekuensi lainnya
berubah-ubah secara spasial, kemudian faktor apa yang dapat menjelaskan variasi
itu? Jika kejadian penyakit diperlakukan sebagai variabel terikat, kemudian
variabel bebas mempengaruhi variabel terikat, secara statistik atau kausalitik
atau kedua-duanya? Dengan kata lain, dengan faktor-faktor apa variasi spasial
angka penyakit dihubungkan? Ini merupakan masalah pokok yang disebutkan dengan
konsep hubungan ekologis, dan selanjutnya digunakan sebagai dasar sebagian
besar geografi kesehatan (Mayer, 1986 dalam Pacion, 1986).
4. Difusi Penyakit Sebagai Proses
Spasial
Dalam istilah
sehari-hari difusi berarti pemencaran, penyebaran, atau penjalaran, seperti
penyebaran berita dari muiut ke mulut, penjalaran penyakit dari suatu daerah ke
daerah lain, penyebaran kebudayaan dari suatu suku ke suku yang lain (Bintarto
dan Hadisumarno, 1987). Model-model difusi spasial merupakan salah satu bentuk
model geografi, di mana geografi modern menekankan pada 3 karakteristik dalam
menghampiri suatu masalah yaitu: analisis spasial, analisis ekologis, dan
analisis komplek wilayah. Model difusi spasial ini bermanfaat bagi para geograf
untuk melakukan analisis spasial yang menitikberatkan pada struktur spasial
yang secara teori meliputi antara lain teori interaksi spasial teori difusi.
Konsep difusi spasial
adalah konsep tentang menyebarnya suatu fenomena dalam ruang geografi dan
merupakan konsep yang dapat berlaku di berbagai bidang seperti menyebarnya
penyakit menular (infeksius), berkembangnya kota, meluasnya kebakaran hutan,
difusi inovasi lain-lain. Walaupun tidak mudah untuk meneliti suatu proses yang
dinamis ini namun konsep penting dan bermanfaat untuk dipahami para geograf
untuk dapat berperan dalam menangani aspek yang multidisiplin tersebut.
Pada analisa Hagerstrand
tentang difusi keruangan terdapat enam unsur. Unsur pertama adalah area atau
lingkungan di mana proses difusi terjadi. Unsur kedua adalah waktu, di mana
difusi dapat terjadi terus-menerus atau atau dalam waktu yang terpisah-pisah.
Unsur ketiga adalah item yang didifusikan, dapat berbentuk material penduduk,
pesawat televisi, pesawat radio, pupuk, dan dapat pula berbentuk non material
seperti tingkah laku, penyakit, pesan, dan lain sebagainya. Item-item tersebut
berbeda-beda dalam derajad untuk dapat dipindahkan, untuk dapat diteruskan,
atau untuk dapat diterima. Misalnya penyakit cacar air mudah dipindahkan atau
mudah menular kepada orang lain. Sebaliknya teknik keluarga berencana sukar
untuk diteruskan dan sukar juga untuk dapat diterima. Tiga unsur lain dalam
pendekatan berkaitan dengan pola penyebaran keruangan yaitu perbedaan tempat
asal, tempat tujuan, dan jalur perpindahan yang dilalui oleh item yang
didifusikan (Bintarto dan Hadisumarno, 1987).
Para geograf tertarik
pada bentuk-bentuk difusi terutama karena penyebaran mengandung rahasia-rahasia
yang berharga menyangkut bagaimana sesuatu berpindah atau menyebar antar
wilayah, di mana pusat-pusat difusi, mengapa, seberapa cepat perjalanan
gelombang difusi, dan melalui saluran-saluran apa. Menurut Hagget (2001) dalam
kajian geografi difusi dapat dibedakan ke dalam difusi ekspansi (expansion diffusion)
dan difusi relokasi (relocation diffusion).
Difusi ekspansi adalah
suatu proses di mana informasi atau material atau yang lainnya menyebar atau
menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah yang lain. Dalam
proses ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan
kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Hal ini berarti bahwa
terjadi penambahan jumlah anggota baru pada populasi antara periode dua waktu
(t1 dan t2) dan penambahan anggota baru tersebut mengubah pola keruangan
populasi secara keseluruhan. Ini berarti bahwa daerah asal mengalami perluasan
oleh karena terdapat tambahan anggota baru dalam populasi. Difusi ekspansi
terjadi melalui 2 jalan yaitu (a) Difusi contagious, di
mana difusi ekspansi terjadi karena kontak langsung seperti campak yang
menyebar ke seluruh penduduk dari kontak orang per orang, yang mana proses ini
sangat dipengaruhi oleh jarak karena wilayah yang berdekatan memiliki
probabilitas kontak langsung yang tinggi dibanding wilayah yang terpencil; dan
(b) Difusi hirarkis, di mana difusi ekspansi atau penyebaran fenomena terjadi
melalui suatu rangkaian perubahan yang teratur (misalnya model baju baru atau
barang kebutuhan seperti TV) dimulai dari kota-kota besar dengan tingkat sosial
yang tinggi baru mengalir ke tingkat di bawahnya. Sedangkan difusi kaskade
merupakan proses penyebaran yang selalu ke bawah, dari pusat yang besar ke yang
lebih kecil (Hagget, 2001).
Difusi relokasi
merupakan proses yang sama dengan penyebaran keruangan di mana informasi atau
material yang didifusikan meninggalkan daerah yang lama dan berpindah atau
ditampung di daerah baru. Ini berarti bahwa anggota dari populasi pada waktu
t1 berpindah letaknya dari waktu t1 hingga waktu t2 (Hagget, 2001). Sebagai
contoh adalah penyakit El Tor yang mana merupakan kombinasi dari kedua teori
tersebut, karena penyakit ini sebagai endemik dan epidemik.
Sebagimana diketahui bahwa
studi difusi spasial mempunyai sejarah panjang dalam geografi dan model
persebaran berbagai macam fenomena geografis telah diaplikasikan secara luas.
Dalam dua dekade terakhir, berbagai usaha dilakukan untuk mengukur model itu
dan memfokuskannya pada permasalahan aplikasi dalam geografi kesehatan. Dalam
kontribusi ini, penyebaran penyakit melalui suatu populasi biologis dilihat
sebagai proses spasial, terutama pada bentuk gelombang epidemik, pada
persebaran dan intensitasnya dan pada jalur geografis yang mengikuti. Perhatian
pada difusi penyakit ini didasarkan atas kebutuhan untuk meramalkan epidemik
dan mengurangi gelombang epidemik yang merupakan bagian dari kebijakan
kesehatan masyarakat (Cliff dan Haggett, 1986 dalam Pacion, 1986).
Selanjutnya Cliff dan
Haggett (1986) juga memperkenalkan sebagian dari model difusi penyakit yang
telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Model difusi penyakit dikenalkan dalam
suatu format non-matematik dan digambarkan menggunakan contoh regional
spesifik. Berikut ini contoh-contoh model difusi penyakit, antara lain epidemic
wave-generating model oleh Hamer dan Soper, yang mana epidemik penyakit
dilihat sebagai suatu gelombang difusi yang bergerak melalui suatu populasi
yang rentan menurut proses biologis (process model) dan
menurut catatan sejarah (time-series model);
epidemic
wavelength model oleh Bartlett, yang mana epidemik penyakit dilihat
berdasarkan hubungan antara jarak gelombang epidemik dan jumlah penduduk dari
suatu komunitas; epidemic
threshold and waveform oleh Kendall, yang mana epidemik penyakit dilihat
berdasarkan hubungan antara ambang batas populasi dan bentuk gelombang yang
membawa implikasi pada bentuk dan percepatan gelombang epidemik ketika bergerak
menuju ke seberang ruang geografis; dan model yang lebih komplek lainnya yang
melihat epidemik penyakit berdasarkan perbandingan gelombang antar wilayah
menggunakan fungsi korelasi silang dan jalur yang diambil oleh gelombang ketika
melalui ruang geografis yang berbeda (Pacion, 1986).
Referensi
Bintarto, R. dan S.
Hadisumarno. 1987. Metode Analisa
Geografi. LP3ES, Jakarta
Boulos, M.N.K. 2000. Health Geomatics.
MIM Centre, School of Informatics, City University. London.
Danoedoro, P. 2003. Fenomena Keruangan
Penyakit Menular: Suatu Perspektif Geoinformasi. Kompas Online, 7 Juni
2003. Jakarta.
Haggett, P. 2001. Geography: A Global
Synthesis. Pearson Education. England.
Huggett, R.J. 1995. Geoecology: An
Evolutionary Approach. Routledge. London & New York.
Pacion, M (ed). 1986. Medical Geography:
Progress and Prospect. Croom Helm, London UK dan Sidney Australia
kenapa mata kuliah ini jarang diterapkan oleh jurusan-jursan dan Fakultas Geografi ???
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSepertinya materi ini bagus di share skrg. Terkait corona
BalasHapus