25 Mei 2013

Geografi Kesehatan dan Geografi Penyakit

Geografi kesehatan atau sering kali disebut medical geography (geografi medis), adalah bidang penelitian yang menggabungkan teknik geografis ke dalam analisis kesehatan dan juga penyebaran penyakit. Selain itu, geografi kesehatan juga mempelajari dampak iklim dan lokasi pada kesehatan masyarakat serta distribusi pelayanan kesehatan. Geografi kesehatan adalah bidang penting karena bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang masalah kesehatan dan meningkatkan kesehatan masyarakat yang didasarkan pada berbagai faktor geografis mempengaruhinya.

Geografi kesehatan merupakan bagian dari ilmu geografi yang khusus mempelajari topik-topik yang berhubungan dengan masalah kesehatan. Geografi kesehatan menggunakan konsep dan teknik dari disiplin ilmu geografi dalam menjelaskan suatu fenomena di bidang kesehatan. Salah satu konsep yang dominan dalam geografi kesehatan yaitu mempelajari hubungan antara manusia dan lingkungannya secara holistik dan melihat interaksi antara manusia dengan beragam budayanya masing-masing dalam biosfer yang berbeda. (Anggigeo)

Penggunaan metode geografi dalam geografi kesehatan lebih kepada analisis spasial. Dimana kejadian penyakit terjadi, apa penyebabnya, bagaimana penularannya, cara penanggulangannya, merupakan beberapa pertanyaan yang harus dijawab secara komprehensif melalui analisis spasial. Peta sebagai alat peraga, dapat memperlihatkan sebaran kejadian penyakit yang ada sehingga bisa menunjukkan distributional pattern dari fenomena kejadian penyakit dan hubungannya dengan fenomena fisik permukaan bumi ataupun aktivitas manusia sehingga dalam mencari pemecahannya dapat dijawab dengan holistik. (Anggigeo)

Geografi kesehatan adalah analisis hubungan antara lingkungan hidup manusia dengan penyakit, gizi, dan sistem pelayanan kesehatan untuk menjelaskan hubungan timbal-baliknya dalam ruang (Barret, 1986 dalam Pacion, 1986). Geografi kesehatan adalah bagian dari geografi manusia yang berhubungan dengan aspek-aspek geografi dari (status) kesehatan dan (sistem) pelayanan kesehatan (Boulos, 2000). Berdasarkan definisi tersebut, mengidentifikasikan hubungan antar tiga komponen terkait dengan geografi penyakit, geografi pelayanan kesehatan, dan geografi ilmu gizi, dengan analisis pada skala regional untuk pengintegrasian ketiga pendekatan itu (Pacion, 1986).

Dalam perkembangannya, dokter, ahli kesehatan masyarakat, dan geografer kesehatan mengukur kesehatan dalam kaitan dengan indikator sakit-sehat seperti morbiditas (kesakitan dan komplikasi penyakit) dan mortalitas (kematian). Tiga bidang kesehatan, yaitu epidemiologi, kesehatan masyarakat, dan geografi kesehatan berkaitan dengan analisis distribusi penyakit dan kematian pada berbagai skala geografis, dalam usaha untuk menentukan apakah keberadaan penyakit tertentu berhubungan dengan beberapa faktor dalam lingkungan sosial atau lingkungan fisik (Boulos, 2000).

Namun dalam geografi kesehatan, ada 2 subdisiplin yang berkembang pesat yaitu geografi penyakit dan geografi sistem pelayanan kesehatan. Geografi penyakit, meliputi eksplorasi, deskripsi, dan pemodelan ruang-waktu atas kejadian penyakit, berkaitan dengan persoalan lingkungan, deteksi dan analisis cluster dan pola penyebaran penyakit, analisis sebab-akibat, dan rumusan hipotesis-hipotesis baru mengenai penyebab penyakit (Boulos, 2000). Geografi penyakit berperan penting dalam surveilans, intervensi kesehatan, dan strategi pencegahan penyakit. Sedangkan geografi sistem pelayanan kesehatan, berkaitan dengan perencanaan, manajemen dan jaminan pelayanan agar sesuai kebutuhan, merumuskan kebutuhan kesehatan masyarakat yang dilayani, dan pola wilayah yang dilayani service catchments zones (Boulos, 2000). Riset geografis atas pelayanan kesehatan dapat mengidentifikasi ketimpangan dalam pelayanan kesehatan antara wilayah satu dan yang lain, dan alokasi sumberdaya yang terbatas. Sebagai contoh mengalokasikan tenaga ke daerah-daerah yang membutuhkan, dan membantu penempatan fasilitas kesehatan yang baru dan perluasan yang telah ada.

1. Fenomena Keruangan Penyakit
 
Ide tempat atau lokasi mempengaruhi kesehatan merupakan konsep lama dan populer pada pengobatan barat. Jauh di masa lampau Hippocrates (360-370SM), bapak kedokteran moderen, yang mengamati bahwa penyakit tertentu tampak terjadi pada tempat tertentu dan tidak pada tempat lain. Hippocrates secara tekun telah mencari sebab penyakit. Dia mempelajari bagaimana cuaca, air, pakaian, makanan, pola makan dan minum berpengaruh pada timbulnya penyakit. Konsep Hippocrates tentang sehat dan sakit menekankan hubungan antara manusia dan lingkungannya, di mana perbedaan wilayah terkait dengan profil sehat dan sakit tersebut yang berubah sesuai perjalanan waktu (Boulos, 2000).
 
Berabad lalu manusia juga menyadari bahwa proses sakit telah menembus melintasi wilayah administrasi, bahkan ketika etiologi penyebab penyakit masih misteri. Usaha memahami mengapa penyakit tertentu tampak hanya terjadi pada tempat tertentu dan tidak pada tempat lain mengarahkan dugaan baru tentang sifat alamiah penyakit itu. Lompatan sejarah pada revolusi pengobatan adalah "kesadaran besar akan lingkungan bersih" terjadi di Inggris pertengahan abad ke-19 yang secara berkelanjutan menyebar kebeberapa negara lain. Studi dilakukan oleh John Snow (1854), seorang ahli anestesi, mendemostrasikan kegunaan pemetaan dan surveilans pada letusan kasus penyakit kolera. John Snow memetakan dan mencatat rumah-rumah orang yang sakit rumah-rumah tersebut berkelompok pada area tertentu dan memakai sumber air dari pompa yang sama. Untuk menduga penyebab penyakit dilakukan dengan menutup pompa air. Karena diduga air yang dipakai dari sumber pompa tersebut penyebabnya. John Snow, telah memetakan distribusi kasus kolera di Soho, London selama periode epidemi. Dia mengungkapkan kasus terbanyak terjadi di sekitar perumahan, di mana perumahan tersebut menggunakan pompa air umum pada jalan besar sebagai sumber airnya (Boulos, 2000). Contoh lain adalah pada awal abad ke 20 di Colorado, di mana dokter gigi melihat bahwa anak-anak yang tinggal di wilayah-wilayah tertentu memiliki gigi dengan lebih sedikit rongga. Mereka menggunakan peta untuk membandingkan rongga gigi anak-anak dengan bahan kimia yang ditemukan dalam air tanah. Mereka menyimpulkan bahwa anak-anak dengan sedikit rongga pada umumnya tinggal (berkelompok) di sekitar wilayah yang memiliki kadar fluoride yang tinggi. Dari sana, penggunaan fluoride menjadi terkenal dalam dunia kedokteran gigi.
 
Interaksi manusia dengan lingkungan dapat menyebabkan kontak antara kuman dengan manusia. Sering terjadi, kuman yang tinggal di tubuh inang (host) kemudian berpindah ke manusia, karena manusia tidak mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada kasus penularan berbagi penyakit melalui binatang yang mengalami domestikasi seperti sapi, babi, dan anjing. Loncat inang juga terjadi karena perubahan lingkungan. Misalnya perambahan hutan, pengubahan pola tanam pertanian, pendangkalan rawa, dan sebagainya. Perubahan lingkungan juga menyebabkan manusia lebih mudah terpapar, melalui kontak langsung ataupun melalui kotoran, dengan hewan-hewan yang menjadi inang alami (natural host) kuman (Danoedoro, 2003).
 
Selanjutnya disebutkan bahwa faktor ekologis juga ditemukan oleh peneliti di India (Srivastava dkk, 2003) yang mengkaji hubungan kualitas permukiman urban dan peri-urban dengan insidensi Malaria. Di Afrika Selatan juga ditemukan banyak kasus malaria di wilayah-wilayah yang kurang berkembang sektor pertanian, wisata, dan industrinya (Martin dkk, 2002). Di kedua negara itu, pengendalian malaria dilaksanakan secara terpadu dalam kerangka nasional sistem informasi malaria berbasis SIG.
 
Penyakit yang terkait dengan kondisi lingkungan tidak hanya yang menular. Kondisi lingkungan yang spesifik dapat memicu angka kejadian penyakit yang tinggi. Secara alami, wilayah gunung api biasanya miskin yodium. Daerah berbatuan kapur juga menyebabkan kandungan air tanahnya mempunyai kandungan kapur yang tinggi. Di pedalaman Kalimantan Timur, dijumpai air permukaan dengan kandungan logam berat kadmium yang cukup tinggi meskipun tidak terdapat kegiatan industri di sekitarnya (Danoedoro, 2003).
 
Faktor non-alami juga bisa memunculkan masalah kesehatan yang perlu dipahami risiko cakupan kewilayahannya. Penggunaan pestisida yang berlebihan di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) akan mencemari air tanah dan terbawa sampai ke hilir. Jarak, arah angin, curah hujan, kemiringan lereng, gerakan air tanah, dan konsentrasi polutan industri sangat berpengaruh terhadap kesehatan penduduk di sekitar lokasi industri (Danoedoro, 2003).

2. Pemetaan Penyakit
 
Peta merupakan suatu metode yang efisien dan unik untuk menggambarkan suatu distribusi fenomena dalam ruang. Beberapa dirancang untuk menggambarkan suatu negara atau wilayah yang menunjukkan pengaturan negara-negara atau wilayah-wilayah berkenaan dengan satu sama lain dan konfigurasi dari batasan-batasan mereka. Ada peta lain yang sifatnya berbeda, yang digunakan oleh para ilmuwan terkait dengan sebab dan akibat dari distribusi fenomena dalam ruang, seperti dalam disiplin meteorologi, klimatologi, geologi, geomorfologi, pedologi, oseanografi, ekologi, ekonomi, ilmu-ilmu sosial, dan geografi. Meskipun demikian membuat peta terutama untuk menunjukkan fakta, untuk menunjukkan distribusi spasial dengan suatu ketelitian yang tidak bisa dicapai dengan uraian atau statistik, itu semua sangat penting sebagai alat penelitian. Peta dapat merekam pengamatan dalam format singkat tapi jelas, membantu analisis, merangsang gagasan dan membantu perumusan hipotesis, dan untuk mengkomunikasikan penemuan (Howe, 1986 dalam Pacion, 1986).
 
Selanjutnya Howe (1986) mengemukakan bahwa pemetaan penyakit masuk dalam kategori terakhir walaupun itu tidak bisa diklaim bahwa penggunaannya dimaksudkan untuk keperluan penelitian epidemiologis geografi kesehatan lebih lanjut. Melainkan keterangan tambahan yang berarti dalam laporan dan yang diharapkan untuk melengkapi uraian penjelasan tentang morbiditas dan mortalitas penyakit (Pacion, 1986).
 
Pemetaan penyakit dan analisis tentang variasi geografis dan pola spasial penyakit memberikan suatu kontribusi berharga pada pendeteksian penyebab penyakit itu yang secara etiologi tak dikenal hingga kini. Pada saat yang sama memberikan suatu tambahan yang komplementer dan berharga kepada metode yang baku dari epidemiologi dan bertindak sebagai pendamping pada sudut pandang yang antroposentris dari metode klinis dan laboratoris yang digunakan oleh sebagian besar ilmuwan kedokteran (Howe, 1986 dalam Pacion, 1986).

3. Analisis Hubungan Ekologis
 
Sejak revolusi kuantitatif perkembangan me­todologi dalam geografi berkembang dengan pesat, dalam geografi terpadu (integrated geography) pemecahan masalah dalam geografi digunakan bermacam-macam pendekatan yaitu pendekatan analisa keruangan (spatial analysis), analisa ekologi (ecolo­gical analysis), dan analisa kompleks wilayah (regional complex analysis). Ciri geografi terpa­du dalam analisanya antara lain mempergunakan matematik yaitu terutama ilmu statistik yang sangat berguna untuk membantu menyatakan hubungan antara variabel-variabel geografi yang banyak jumlahnya (Bintarto dan Hadisumarno, 1987). Sebagai salah satu pendekatan geografi, analisis ekologis dilakukan untuk mempelajari fenomena interaksi antara organisme hidup dengan lingkungan. Oleh karena itu untuk mempelajari ekologi seseorang harus mempe­lajari organisme hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan, serta lingkung­annya seperti litosfer, hidrosfer, dan atmosfer. Selain dari itu organisme hidup dapat pula mengadakan interaksi dengan organisme hidup yang lain (Bintarto dan Hadisumarno, 1987).
 
Bertitik tolak pada analisis ekologis, kemajuan teoritis dan empiris dalam geografi kesehatan yang dihasilkan adalah dalam percepatannya mendiskripsikan pola penyakit ke dalam eksplorasi, analisis, dan penjelasan pola itu, yang mana salah satu dari konsep utama tentang hal itu adalah hubungan ekologis atau disebut pula hubungan kejadian. Logika utama yang mendasari konsep ini adalah bahwa sesungguhnya hampir setiap penyakit memperlihatkan variasi spasial. Salah satu tujuan utama dari geografi kesehatan adalah untuk menguraikan dan menjelaskan variasi itu. Jika angka prevalesi, angka insiden, atau ukuran-ukuran frekuensi lainnya berubah-ubah secara spasial, kemudian faktor apa yang dapat menjelaskan variasi itu? Jika kejadian penyakit diperlakukan sebagai variabel terikat, kemudian variabel bebas mempengaruhi variabel terikat, secara statistik atau kausalitik atau kedua-duanya? Dengan kata lain, dengan faktor-faktor apa variasi spasial angka penyakit dihubungkan? Ini merupakan masalah pokok yang disebutkan dengan konsep hubungan ekologis, dan selanjutnya digunakan sebagai dasar sebagian besar geografi kesehatan (Mayer, 1986 dalam Pacion, 1986).

4. Difusi Penyakit Sebagai Proses Spasial
 
Dalam istilah sehari-hari difusi berarti pemencaran, penyebaran, atau penjalaran, seperti penyebaran berita dari muiut ke mulut, penjalaran penyakit dari suatu daerah ke daerah lain, penyebaran kebudayaan dari suatu suku ke suku yang lain (Bintarto dan Hadisumarno, 1987). Model-model difusi spasial merupakan salah satu bentuk model geografi, di mana geografi modern menekankan pada 3 karakteristik dalam menghampiri suatu masalah yaitu: analisis spasial, analisis ekologis, dan analisis komplek wilayah. Model difusi spasial ini bermanfaat bagi para geograf untuk melakukan analisis spasial yang menitikberatkan pada struktur spasial yang secara teori meliputi antara lain teori interaksi spasial teori difusi.
 
Konsep difusi spasial adalah konsep tentang menyebarnya suatu fenomena dalam ruang geografi dan merupakan konsep yang dapat berlaku di berbagai bidang seperti menyebarnya penyakit menular (infeksius), berkembangnya kota, meluasnya kebakaran hutan, difusi inovasi lain-lain. Walaupun tidak mudah untuk meneliti suatu proses yang dinamis ini namun konsep penting dan bermanfaat untuk dipahami para geograf untuk dapat berperan dalam menangani aspek yang multidisiplin tersebut.
 
Pada analisa Hagerstrand tentang difusi keruangan terdapat enam unsur. Unsur pertama adalah area atau lingkungan di mana proses difusi terjadi. Unsur kedua adalah waktu, di mana difusi dapat terjadi terus-menerus atau atau dalam waktu yang terpisah-pisah. Unsur ketiga adalah item yang didifusikan, dapat berbentuk material penduduk, pesawat televisi, pesawat radio, pupuk, dan dapat pula berbentuk non material seperti tingkah laku, penyakit, pesan, dan lain sebagainya. Item-item tersebut berbeda-beda dalam derajad untuk dapat dipindahkan, untuk dapat diteruskan, atau untuk dapat diterima. Misalnya penyakit cacar air mudah dipindahkan atau mudah menular kepada orang lain. Sebaliknya teknik keluarga berencana sukar untuk diteruskan dan sukar juga untuk dapat diterima. Tiga unsur lain dalam pendekatan berkaitan dengan pola penyebaran keruangan yaitu perbedaan tempat asal, tempat tujuan, dan jalur perpindahan yang dilalui oleh item yang didifusikan (Bintarto dan Hadisumarno, 1987).
 
Para geograf tertarik pada bentuk-bentuk difusi terutama karena penyebaran mengandung rahasia-rahasia yang berharga menyangkut bagaimana sesuatu berpindah atau menyebar antar wilayah, di mana pusat-pusat difusi, mengapa, seberapa cepat perjalanan gelombang difusi, dan melalui saluran-saluran apa. Menurut Hagget (2001) dalam kajian geografi difusi dapat dibedakan ke dalam difusi ekspansi (expansion diffusion) dan difusi relokasi (relocation diffusion).
 
Difusi ekspansi adalah suatu proses di mana informasi atau material atau yang lainnya menyebar atau menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah yang lain. Dalam proses ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Hal ini berarti bahwa terjadi penambahan jumlah anggota baru pada populasi antara periode dua waktu (t1 dan t2) dan penambahan anggota baru tersebut mengubah pola keruangan populasi secara keseluruhan. Ini berarti bahwa daerah asal mengalami perluasan oleh karena terdapat tambahan anggota baru dalam populasi. Difusi ekspansi terjadi melalui 2 jalan yaitu (a) Difusi contagious, di mana difusi ekspansi terjadi karena kontak langsung seperti campak yang menyebar ke seluruh penduduk dari kontak orang per orang, yang mana proses ini sangat dipengaruhi oleh jarak karena wilayah yang berdekatan memiliki probabilitas kontak langsung yang tinggi dibanding wilayah yang terpencil; dan (b) Difusi hirarkis, di mana difusi ekspansi atau penyebaran fenomena terjadi melalui suatu rangkaian perubahan yang teratur (misalnya model baju baru atau barang kebutuhan seperti TV) dimulai dari kota-kota besar dengan tingkat sosial yang tinggi baru mengalir ke tingkat di bawahnya. Sedangkan difusi kaskade merupakan proses penyebaran yang selalu ke bawah, dari pusat yang besar ke yang lebih kecil (Hagget, 2001).
 
Difusi relokasi merupakan proses yang sama dengan penyebaran keruangan di mana informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah yang lama dan berpindah atau ditampung di daerah baru. Ini berarti bahwa anggota dari populasi pada waktu t1 berpindah letaknya dari waktu t1 hingga waktu t2 (Hagget, 2001). Sebagai contoh adalah penyakit El Tor yang mana merupakan kombinasi dari kedua teori tersebut, karena penyakit ini sebagai endemik dan epidemik.
 
Sebagimana diketahui bahwa studi difusi spasial mempunyai sejarah panjang dalam geografi dan model persebaran berbagai macam fenomena geografis telah diaplikasikan secara luas. Dalam dua dekade terakhir, berbagai usaha dilakukan untuk mengukur model itu dan memfokuskannya pada permasalahan aplikasi dalam geografi kesehatan. Dalam kontribusi ini, penyebaran penyakit melalui suatu populasi biologis dilihat sebagai proses spasial, terutama pada bentuk gelombang epidemik, pada persebaran dan intensitasnya dan pada jalur geografis yang mengikuti. Perhatian pada difusi penyakit ini didasarkan atas kebutuhan untuk meramalkan epidemik dan mengurangi gelombang epidemik yang merupakan bagian dari kebijakan kesehatan masyarakat (Cliff dan Haggett, 1986 dalam Pacion, 1986).

Selanjutnya Cliff dan Haggett (1986) juga memperkenalkan sebagian dari model difusi penyakit yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Model difusi penyakit dikenalkan dalam suatu format non-matematik dan digambarkan menggunakan contoh regional spesifik. Berikut ini contoh-contoh model difusi penyakit, antara lain epidemic wave-generating model oleh Hamer dan Soper, yang mana epidemik penyakit dilihat sebagai suatu gelombang difusi yang bergerak melalui suatu populasi yang rentan menurut proses biologis (process model) dan menurut catatan sejarah (time-series model); epidemic wavelength model oleh Bartlett, yang mana epidemik penyakit dilihat berdasarkan hubungan antara jarak gelombang epidemik dan jumlah penduduk dari suatu komunitas; epidemic threshold and waveform oleh Kendall, yang mana epidemik penyakit dilihat berdasarkan hubungan antara ambang batas populasi dan bentuk gelombang yang membawa implikasi pada bentuk dan percepatan gelombang epidemik ketika bergerak menuju ke seberang ruang geografis; dan model yang lebih komplek lainnya yang melihat epidemik penyakit berdasarkan perbandingan gelombang antar wilayah menggunakan fungsi korelasi silang dan jalur yang diambil oleh gelombang ketika melalui ruang geografis yang berbeda (Pacion, 1986).

Referensi
Bintarto, R. dan S. Hadisumarno. 1987.  Metode Analisa Geografi.  LP3ES, Jakarta
Boulos, M.N.K. 2000. Health Geomatics. MIM Centre, School of Informatics, City University. London.
Danoedoro, P. 2003. Fenomena Keruangan Penyakit Menular: Suatu Perspektif Geoinformasi. Kompas Online, 7 Juni 2003. Jakarta.
Haggett, P. 2001. Geography: A Global Synthesis. Pearson Education. England.
Huggett, R.J. 1995. Geoecology: An Evolutionary Approach. Routledge. London & New York.
Pacion, M (ed). 1986. Medical Geography: Progress and Prospect. Croom Helm, London UK dan Sidney Australia


3 komentar:

  1. kenapa mata kuliah ini jarang diterapkan oleh jurusan-jursan dan Fakultas Geografi ???

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Sepertinya materi ini bagus di share skrg. Terkait corona

    BalasHapus